Sore ini saya menghela nafas panjang. Dalam sekali. Seolah ada beban emosi yang ingin saya lepaskan. Iya, tentu saja ada. Sejak kapan manusia hidup tanpa masalah? Saya rasa, mereka yang kelihatan tidak bermasalah itu dua kemungkinannya. Satu, dia pandai menyembunyikan masalah. Dua, dia pandai lari dari masalah. Saya ada dimana? Bukan dua-duanya. Saya tidak suka dramatisasi. Saya juga tidak pandai bersembunyi. Masalah bagi saya adalah sesuatu yang harus dihadapi sewajarnya.
One day, somebody told me that my life is too good to be true? Oh kidding. But thank you for seeing me that way. It means I'm good in hiding my flaws. Just like others, I do have flaws. Tapi apakah harus dibicarakan dan diumbar di social media? Tentu tidak. Menurut saya, kita tidak perlu bertelanjang di dunia maya. Apa urusan orang lain untuk tahu luar dalam diri kita.
Ketika suatu masalah terblow-up di social media, dalam penalaran saya, orang-orang yang tidak mengenal kita hanya akan menghakimi, mem-bully, atau menyudutkan kita di posisi yang tidak kita inginkan. Salah? Belum tentu. Menurut saya itu sah-sah saja. Toh setiap orang bebas berpendapat dan memproses informasi sebatas input yang mereka terima. Apalagi di Indonesia ini variabel tambahannya banyak : perbedaan value, pandangan agama, pandangan politik, de-es-be. Lalu kita harus marah kan menyikapinya? Tergantung, sejauh mana penyimpangan informasi yang salah proses tadi beredar. Kalau kelewatan sih, itu bukan salah proses lagi, tapi fitnah. Misalnya yang dilihat A, yang disimpulkan bukan A++, tapi malah jadi B, C. Bahkan F. Kalau sudah begitu, ya wajar lah marah. Kita juga manusia kan. Tapi kalau orang lain sekedar mengartikan informasi berdasarkan apa yang dilihat dan didengar langsung, ya jangan langsung marah. Manusia kan bukan Tuhan yang Maha Tau segalanya. Maklumin ajalah kalau kejadiannya A, diartiinnya A++. si ++ itu anggap aja variabel tambahan yang bikin versinya aslinya jadi beda. Bisa lebih drama, bisa juga sebaliknya.
Misalnya gini, ada orang pakai baju seksi banget. Nah, persepsi orang yang melihat kan lain-lain. Ada yang biasa aja, ada yang malu melihat aurat diumbar, ada yang menganggap keren dan sebagainya. Si mbak yang pakai baju seksi tadi ga berhak membatasi pikiran orang lain saat mereka melihat dia. Ya memang sih pakai baju seksi kek, pakai gamis kek, itu urusan yang memakai. Tapi urusan orang yang melihat juga dong punya pendapat tentang apa yang dilihatnya. Dalam benak si Mbak, mungkin kejadiannya A. Tapi untuk orang bisa jadi A++, atau A--. Ya biarin ajalah. Konsekuensi adanya perbedaan.
Jadi, jangan gampang marah atau gampang merasa dihakimi. Ga usah juga sedikit-sedikit defense dengan kalimat, "itu urusan saya", atau " itu urusan saya, pacar saya, dan Tuhan". Oh right, jadi urusan kita yang melihat bagaimana? Harus seiya sekata meskipun ga sesuai nurani, gitu? Bukankah kita punya hak yang sama dalam berpendapat. Dan bukankah kita punya hak yang sama untuk berbeda? Jalan tengahnya, tau sama tau ajalah.
Saya tidak menghakimi anda, saya hanya berpendapat. Maaf jika saya tahu rahasia terdalam hidup anda. Jika anda bertanya, bagaimana bisa? tanyalah pada Tuhan. Sayapun tidak tau jawabannya karena saya tidak pernah merencanakannya. Hidup saya cukup damai, dan jika bisa memilih, tentu lebih baik saya tidak tau. Jika anda merasa dihakimi, berarti suara nurani andalah yang sedang menyapa :)
Saya tidak menghakimi anda, saya hanya berpendapat. Maaf jika saya tahu rahasia terdalam hidup anda. Jika anda bertanya, bagaimana bisa? tanyalah pada Tuhan. Sayapun tidak tau jawabannya karena saya tidak pernah merencanakannya. Hidup saya cukup damai, dan jika bisa memilih, tentu lebih baik saya tidak tau. Jika anda merasa dihakimi, berarti suara nurani andalah yang sedang menyapa :)