Jumat, 29 Oktober 2010

More than a house

Dua minggu lalu rumah orangtuaku di Cibinong, Bogor resmi terjual. Meski berat, toh keputusan itu akhirnya kami sepakati setelah menimbang-nimbang pros dan kons. Orangtuaku sendiri telah memiliki sebuah rumah di kampung halamannya, Garut. Rumah yang didesain dan dibangun sesuai impian mereka akan hari tua. Bila tidak ada aral melintang, officially mereka akan menetap di Garut pada akhir tahun ini.

Tidak pernah terbayangkan bahwa rumah yang selama 28 tahun menemani kami dalam suka dan duka itu akan menjadi milik orang lain. Ada rasa haru dan sedih tatkala kami mulai packing barang-barang kami. But life must go on, bukan? Saat ini kebetulan aku dan kakakku akan segera menempati rumah baru kami, adikku irma akan segera pindah ke jakarta, sedangkan feni masih sibuk berkutat dengan profesi dan cita-citanya untuk melanjutkan studinya di bidang kebidanan. In short, tidak ada yang menempati dan mengurus rumah di cibinong. Keinginan orangtua untuk pulang kampung pun tidak terbendung sudah.

Aku sendiri merasa memiliki hubungan yang istimewa dengan rumah itu. Konon, rumah itu dibangun pada saat aku lahir. Usia kami sama. Dan satu-satunya anak mama yang lahir di Cibinong adalah aku. RS Bersalin dimana aku lahir terletak 200 meter dari rumah. Orang bilang, aku pembawa keberuntungan. Padahal menurutku, semua anak yang lahir adalah pembawa keberuntungan.

Meski bukan tergolong rumah mewah, tidak pula terletak di perumahan yang elit, namun kehangatannya menjadi suatu kenangan tersendiri. Ada banyak tawa dan tangis di rumah itu. Ada keharuan dan kejengkelan. Tetangga-tetangga yang ramah, bahkan terlalu ramah. Dan tentu saja, kesederhanaan dan kesahajaan lingkungan yang mengasah rasa peduli dan empati dengan sesama.

Di sekitar rumahku, banyak kaum yang tidak mampu. Dan apabila melihat cara mereka menolong sesamanya, hati kita pasti akan tersentuh. Memberi dari kekurangan, itu adalah pelajaran termahal yang tidak aku peroleh dimanapun selain di sekitar rumahku sendiri. Malu hati dan begitu tertohok rasanya jika kita yang masih memiliki penghasilan tetap dan hidup lebih nyaman masih perhitungan untuk melakukan kebajikan. Berdampingan dengan mereka membuatku sadar bahwa kemuliaan hati tidak dapat diukur dari materi. Dari situ, aku belajar juga untuk tidak membeda-bedakan orang lain hanya karena mereka tidak mampu. Sungguh, secara fitrah, mereka sama denganku. Ada kebutuhan untuk dihargai dan diperlakukan dengan baik dan layak.

Waktu kecil, aku pernah bertanya kepada Ayahku, mengapa kita tidak pindah saja ke perumahan yang elit? Namun papa hanya membalas dengan senyum. Papa lalu berkata, untuk apa pindah neng? Enakan disini, sekecil apapun yang bisa kita lakukan untuk tetangga, akan menjadi suatu keberkahan tersendiri untuk keluarga kita.  Kalimat itu sulit sekali aku cerna waktu aku kecil, namun kini aku mengerti. I Love you so, dad!

Ya memang, tidak sedikit akhirnya yang memandang kami remeh hanya karena kami tinggal di perkampungan. Itulah juga yang membuat perasaanku waktu kecil terluka. Tapi keteguhan hati ayahku patut diacungi jempol. Dan pada akhirnya ketika beliau membangun rumah di Garut, barulah mereka malu hati. Itulah moment dimana ketulusan orang dapat aku lihat dengan mata kepalaku sendiri. Memandang segala sesuatu dari materi menurutku perilaku rendahan.

Ah, akhirnya sampai pula kami pada saat dimana kami harus meninggalkan rumah itu. Rumah yang telah mengajarkanku banyak hal. It's more than a house, it's a home..

Pa, ma, makasih ya udah mengajarkan Icha banyak hal disana. Semoga Icha bisa melakukan hal yang sama untuk Atha. Nikmatilah masa tua papa dan mama dengan bahagia di Garut.  Nanti Atha dan Kayla bakal sering berkunjung yaa..

2 komentar:

  1. Semoga Rumah Cibinong-mu dihuni orang yang baik dan saleh, Cha...Eh eh apa kabar ikanmu si Inul kan namanya?

    BalasHapus
  2. Amin..
    Si Inul udah mati dari tahun 2006 kalo ga salah.. Udah lama banget mba, hehehe..
    Sempat diganti sama arwana lokal, kita kasih nama boas, eh mati juga tahun 2008..

    BalasHapus