Pernikahan adalah proses dua menjadi satu. Tetapi bagiku, itu bukan berarti hanya "aku dan kamu". Sedari awal aku sadar bahwa "aku" berasal dari latar belakang keluarga yang berbeda dengan "kamu". Saat aku memilih suamiku, itu berarti aku telah siap menerima dengan segala konsekuensinya, termasuk menerima keluarganya untuk menjadi keluargaku. Menghargai value keluarganya sebagaimana aku menginginkan value keluargaku dihargai oleh suami. Aku tidak hendak memaksa untuk membentuknya menjadi seseorang yang aku inginkan, karena aku pun tidak menginginkan hal serupa menimpaku. Bukankah lebih menyenangkan untuk tetap menjadi diri sendiri dan dicintai sepenuh hati?
Saat aku memutuskan untuk menikah, aku tidak hendak memisahkannya dari keluarga besarnya, karena aku pun tidak hendak dianggap sebagai entitas yang terpisah dari keluargaku. Hubungan orangtua-anak, serta kakak-adik tidak boleh terputus hanya karena pernikahan. Dari pemikiran itulah sejak awal hubungan aku selalu mencamkan betapa pentingnya penerimaan yang baik dari kedua belah pihak keluarga besar. Dimana bumi di pijak, disitulah langit dijunjung. Sebelum resmi menjadi anggota keluarga, pantang bagiku untuk menuntut macam-macam dari (calon) suami dan apalagi keluarganya. Pada waktu itu, aku selalu merasa bahwa orang yang paling berhak atas (calon) suamiku adalah keluarganya, terutama ibunya. Aku hanya seorang pacar yang baru mengenalnya selama 8 tahun, tidak ada apa-apanya dibandingkan ibu yang telah melahirkannya, ayah yang telah menyekolahkannya, serta kakak dan adiknya yang telah berbagi kasih sayang dengannya selama 25 tahun.
Saat aku memutuskan untuk menikah, aku tidak hendak memisahkannya dari keluarga besarnya, karena aku pun tidak hendak dianggap sebagai entitas yang terpisah dari keluargaku. Hubungan orangtua-anak, serta kakak-adik tidak boleh terputus hanya karena pernikahan. Dari pemikiran itulah sejak awal hubungan aku selalu mencamkan betapa pentingnya penerimaan yang baik dari kedua belah pihak keluarga besar. Dimana bumi di pijak, disitulah langit dijunjung. Sebelum resmi menjadi anggota keluarga, pantang bagiku untuk menuntut macam-macam dari (calon) suami dan apalagi keluarganya. Pada waktu itu, aku selalu merasa bahwa orang yang paling berhak atas (calon) suamiku adalah keluarganya, terutama ibunya. Aku hanya seorang pacar yang baru mengenalnya selama 8 tahun, tidak ada apa-apanya dibandingkan ibu yang telah melahirkannya, ayah yang telah menyekolahkannya, serta kakak dan adiknya yang telah berbagi kasih sayang dengannya selama 25 tahun.
Aku bersyukur, amat bersyukur karena aku memulai proses pembentukan keluargaku dengan -Alhamdulillah- wajar. Pada saat memutuskan untuk menikah, usiaku dan suami sudah cukup umur, kami telah bekerja, sifat pekerjaanku memungkinkanku untuk berumahtangga (tidak ada ikatan dinas atau larangan untuk hamil dan semacamnya), serta keluarga besar kami merestui. Tidak ada alasan lain selain ibadah. Friksi kecil memang ada. Maklum, di Indonesia, pernikahan juga berarti menyatukan dua keluarga besar. Ada banyak pendapat, pertanyaan, ide, dan demand-demand lain yang membuat darah ini naik ke otak. Alhamdulillah semua hanya masalah kecil, bukan sesuatu yang prinsipal apalagi skandal. Aku meyakini bahwa segala sesuatu yang dimulai dengan baik-baik akan membuahkan hasil yang baik-baik pula.
Sekarang usia pernikahanku genap 2,5 tahun. Masih amat baru. Perjalanan masih panjang. Kami masih kerap berbeda pendapat, masih suka bertengkar untuk hal-hal yang sepele, dan masih dalam proses mengendalikan ego. Pernikahanku masih penuh gejolak, tetapi itulah yang membuatnya sempurna.
Aku dan suami sepakat untuk selalu mengedepankan kejujuran karena rumah tangga bukan panggung sandiwara. Aku selalu menceritakan masalahku pada suamiku, dari yang besar hingga yang ecek-ecek, beserta detailnya. Tidak ada satu hal pun yang kulakukan tanpa sepengetahuan suami. Begitupun sebaliknya. Belakangan aku baru menyadari keuntungannya saat beberapa waktu lalu seseorang mengadukanku pada suamiku atas hal yang dirasakannya satu pihak dan mengakitkannya dengan masalah yang tidak ada relevansinya sama sekali. Suamiku sendiri menanggapinya dengan tersenyum dan memintaku untuk banyak beristighfar dan bersabar. Tidak perlu ditanggapi. Secara kasat mata, tidak perlu ilmu khusus untuk menilai kualitas orang yang mengadukan istri pada suaminya sendiri. Lagipula, apapun yang aku rasakan tidak sebanding dengan rasa malu yang dia tanggung.
Anyway, aku bersyukur meski kerap diwarnai dengan perbedaan pendapat, meski masih ada benturan ego, pernikahanku cukup membahagiakan. Saat aku terluka, Alloh selalu menumbuhkan rasa cinta yang lebih besar dari kekecewaanku. Saat aku menangis, Alloh selalu mengganti tiap tetes air mataku dengan gelak tawa dengan jumlah yang berlipat-lipat di hari yang lainnya. Saat aku frustasi, Alloh selalu mengingatkanku bahwa suamiku adalah orang pilihanku sendiri, yang aku terima lamarannya dengan sadar, dan aku ikhlaskan untuk menjadi suamiku. Apalagi kini kami telah memiliki Athazka yang semakin hari semakin lucu. Rasanya aku tidak berhak lagi untuk mengeluh.
Terima kasih ya Alloh. Janji-Mu tidak pernah ingkar. Bahwa hidup bersama laki-laki pilihanku dalam koridor yang telah Kau halalkan adalah nikmat yang tak terkira. Alhamdulillah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar