Akhir-akhir ini pelayanan jasa angkutan massal andalanku a.k.a kereta, mengalami semacam degradasi kualitas. Benar-benar menyebalkan, bahkan kadang membuat frustasi. Jadwal yang berubah-ubah, molor, batal dan yang paling sering adalah gangguan sinyal. Oh my, bertahun-tahun menjadi roker (Rombongan kereta) baru kali ini deritaku menyentuh hati yang terdalam.
Jika aku tidak salah ingat, dalam 6 bulan belakangan ini, aku terlambat handprint hingga melampaui batas toleransi flexy time sebanyak 2 kali (yang berakhir dengan menghadap bos dan meminta beliau menandatangani selembar formulir admistrasi yang menjadikan keterlambatanku menjadi legal), 1 kali tidak masuk kantor (Aku akhirnya memutuskan untuk pulang ke rumah saat kereta yang aku tumpangi tidak kunjung beranjak dari stasiun karena mengalami gangguan sinyal. Untuk kaum fakir cuti seperti aku, rasanya benar-benar mimpi buruk), serta keterlambatan lain yang meskipun tidak membuatku sampai melampaui flexy time ataupun bolos, tetapi tetap merugikanku karena membuatku lelah secara fisik dan mental. I am physically and emotionally exhausted!!!
Suatu hari aku bahkan pernah menyebut PT KAI mereka sebagai cobaan dunia. Berdiri di kereta selama berjam-jam, dan itu terjadi selama beberapa hari berturut-turut, tentu membuatmu ingin melayangkan bogem pada penyedia jasa itu bukan? Pemikiran kritisku - yang kurang didukung oleh data empiris- rasanya ingin cepat-cepat menyimpulkan bahwa sudah waktunya transportasi kereta di privatisasi. Biarkan swasta yang mengelola. Mungkin dengan membabat jalur birokratis, respon pengelola kereta terhadap kebutuhan penggunanya akan lebih cepat dan tepat sasaran.
Sedikit pencerahan mengenai masalah kereta ini akhirnya aku dapatkan di Koran Tempo edisi hari ini. Ada aroma politik yang tercium dibalik keresahan pengguna sarana transportasi massal ini. Ternyata bukan perasaanku saja. Degradasi kualitas betul-betul terjadi. Pemerintah terkesan pilih kasih (aku berusaha untuk tidak menggunakan kata sengaja yang bernada menuduh) dalam merumuskan kebijakan penataan sarana tranportasi publik. Anggaran untuk pembangunan dan perawatan jalan tol dan jalan raya jauh lebih besar daripada kereta. Bahkan panjang rel kereta api di Indonesia saat ini telah berkurang +/- 1.000 meter dibandingkan dengan yang telah ditinggalkan oleh Belanda. Keterlaluan. Semakin modern, rel kereta api malah semakin pendek. Tidak ada pengembangan sama sekali. Bagaimana mau menjadi bangsa yang maju?
Di sisi lain, meski telah memperoleh gelontoran dana yang lebih besar daripada sektor perkeretaapian, toh jalan tol dan jalan raya besar di Jakarta dan sekitarnya, tetap tidak dapat menampung kemacetan lalu lintas. Oh Tuhan, ini benar-benar mimpi buruk jika setiap sore aku dihadapkan pada buah simalakama : kereta trouble atau macet berjam-jam?
Ini memang keluhan klasik, keluhan jamak hampir semua karyawan commuter di Jakarta. Tetapi mengingat perkembangan peradaban kini pun telah mulai beralih ke kota-kota satelit di sekitar jakarta, bukankah salah satu solusi yang dapat ditawarkan untuk peningkatan kualitas hidup kami adalah perbaikan sarana transportasi umum? Toh dari penghasilan yang kami peroleh setiap bulan, itu kami setorkan pajaknya dalam rangka partisipasi kami membangun negeri ini?
Satu hal lagi, the biggest lost dari masalah sarana transportasi umum adalah opportunity cost. It's time. Waktu. Dan siapapun mengerti bahwa waktu tidak dapat diputar kembali. Bayangkan betapa banyaknya waktu sia-sia yang terbuang di perjalanan sebagai ongkos dari semerawutan kebijakan dan pengelolaan sarana transportasi publik? Aku rasa, jika kita belum bisa menghargai waktu, maka kita belum dapat di sebut sebagai bangsa yang besar.
Ok aku rasa cukup sekian curhatnya. It's 4.30 pm. It's time for me to leave this office. Mudah-mudahan perjalanan sore ini lancar sehingga cukup sebagai pengobat perjalanan tadi pagi yang traumatik.
Bye everyone
Tidak ada komentar:
Posting Komentar