Rabu, 18 Mei 2011

Against bullying

Sebetulnya saya lelah sekali sore ini, tetapi saya tidak tahan untuk menumpahkan perasaan saya setelah mendengar berita tentang meninggalnya bocah berumur 5 tahun di tegal, Jawa tengah akibat dikeroyok oleh teman sebayanya. Ya Tuhan.. How come bocah berusia 5 tahun sudah memiliki mental untuk menyiksa sesamanya?

Hati saya sungguh miris. Rasanya ingin sekali mengajak semua orang untuk berkampanye menyuarakan anti bullying. Suah saatnya kita lebih memperhatikan lagi masalah-masalah psikologis anak daripada sekedar memenuhi kebutuhan jasmaninya saja.

Dalam kasus pengeroyokan balita oleh balita tadi, menurut saya, tanggungjawab terbesar ada pada orangtua balita-balita itu. Ada something wrong dengan pola pengasuhan orangtuanya, pasti. Entah bagaimana, seorang pelaku bullying biasanya memiliki kebutuhan akan pengakuan yang besar dari lingkungannya. Yang saya tidak sadari adalah perilaku itu bahkan sudah dapat muncul ketika anak berusia 4 tahun. Be careful parents..

Dalam kondisi yang ideal, ketika seorang anak tercukupi kebutuhan afeksinya, tercukupi pula kebutuhan sosialnya dimana dia sudah terbiasa bergaul dengan anak-anak seusianya, maka lama kelamaan dia akan belajar untuk berbagi, belajar untuk menahan ego, belajar untuk memimpin, dsb. Namun, semuanya perlu dalam pengawasan orang yang lebih besar mengingat filter dalam pikiran anak-anak masih belum well established.

Dari sisi internal, ada pendapat bahwa perilaku bullying anak diperoleh dari orangtuanya. Secara sadar maupun tidak sadar, orangtua mungkin suka merendahkan, menghina, mengejek oranglain entah dengan maksud bercanda atau bukan. Anak-anak akan menangkapnya bulat-bulat. Jika orangtua menikmati sensasi dari perasaan 'hebat' yang diperoleh dengan cara menghina orang lain, maka anak-anak pun demikian. Mereka akan menganggap dirinya hebat jika dapat membuat orang lain tampak lemah dan memalukan. Sudah sering kan mendengar anak yang usianya belia namun perkataannya tajam?

Jika hanya sebatas pada perkataan, agak mendingan dibandingkan dengan penggunaan kekerasan seperti kasus pengeroyokan balita di atas. Untuk kasus ini, bibit bully yang sudah ada pada anak, menurut saya, diperparah dengan tayangan kekerasan yang sering muncul di tv. Tidak mungkin kan anak sekecil itu memiliki ide untuk melakukan sesuatu yang belum pernah mereka lihat? Saya rasa media berperan besar dalam hal ini. Lagi-lagi, kurangnya pengawasan orang yang lebih besar menjadi faktor yang memperparah.

Parents, please take a look deeper to our kids..

Tolong ajarkan anak-anak kita untuk rendah hati..
Tolong ajarkan anak-anak kita untuk menghargai..
Tolong ajarkan anak-anak kita untuk percaya diri tanpa perlu menjadi superior..
Tolong ajarkan anak-anak kita untuk dapat menerima kekurangan tanpa perlu merasa rendah diri..

Dan yang terpenting, berilah contoh dan teladan yang baik sebagaimana ajaran agama yang kita yakini..

Saya belum dapat melakukan sesuatu yang besar dalam memerangi bullying. Tapi saya akan memulainya dari diri saya sendiri, sekarang.. 

2 komentar:

  1. Bullying itu sbnrnya sikap self defense ssorang yang MERASA bahwa sesuatu/ssorang itu adalah ancaman baginya. Sbnrnya kasian dgn orang tipe begini. Biasanya ybs pny problem self actualization dlm komunitas kecilnya (keluarga). Bahkan ada jg krn efek kekerasan (baik fisik atwpun mental) dlm keluarganya, shg ybs menyalurkan hasrat merendahkannya pd oranglain diluar.

    Bakat bullying ini hrs diperhatikan oleh keluarga sedari si anak kecil. Krn kl sdh dewasa & tabiat bgt msh tumbuh (bullying), bs menjadi boomerang bagi dirinya, cepat atw lambat. Krn pd dasarnya manusia ingin hidup dalam komunitas yg saling menghargai, tanpa tekanan, dan tidak mau direndahkan.

    BalasHapus
  2. setuju yu. Tapi untuk kasus balita tadi, menurut saya filter dalam pikiran anak-anak yang belum sempurna belum bisa menyaring perbuatan yang baik dan buruk dan kepolosan mereka belum bisa menciptakan ide untuk melakukan sesuatu yang belum pernah mereka lihat.

    Awalnya, saya rasa mereka meniru, entah itu dari perilaku orangtua ataupun media, diperparah lagi dengan tidak adanya bimbingan orang yang lebih dewasa.

    BalasHapus