Kartini, pejuang kesetaraan hak-hak wanita pada masanya. Hingga kini, semangat kesetaraan tersebut diperingati setiap tanggal 21 April. Beberapa satker di kantor saya menyarankan pegawai wanita mengenakan kostum kebaya. Lucu sih, kreatif. Tapi untuk seorang commuter seperti saya tentu artinya juga adalah repot. Hehe. Piss ahh..
Anyway, talking about kesetaraan gender, saya senang dan bersyukur hidup di masa sekarang dimana feodalisme sudah dianggap so yesterday. Bisa dibilang, saat ini wanita memiliki hak-hak yang sama seperti laki-laki hampir dalam segala hal: pendidikan, pekerjaan, eksplorasi diri, kreativitas, etc.. (you name it).
Tapi kadang kesetaraan gender ini dipahami secara kebablasan oleh kaum pria. Mau contoh? Lihat saja di kereta jabodetabek ekspress. Para laki-laki sudah tidak malu-malu lagi mengokupasi kursi ibu hamil. Duh..
Bukan saya bersikap ambigu, apalagi oportunis, akan kesetaraan gender ini, tetapi dalam pandangan saya, ada beberapa hal kodrati yang secara fitrah memang memerlukan pengecualian. Misalnya, dalam kasus ibu hamil. Jika seandainya laki-laki bisa hamil, saya tentu akan dengan senang hati menghapus pengecualian tadi.
Satu lagi, bagi saya, sehebat-hebatnya wanita dalam eksplorasi dirinya sebagai individu, ketika memasuki kehidupan rumah tangga, maka ia tetaplah wanita sebagaimana halnya kartini pada masanya, Bukan berarti melulu mengurus dan bertanggungjawab penuh atas kehidupan domestik (pada hal-hal teknis kini hal tersebut dapat dibagi dua dengan suami dengan konsep teamwork), tetapi yang saya maksudkan disini adalah wanita sebagai makmum yang tetap perlu untuk menghargai suaminya sebagai pemimpin. Untuk hal ini saya tidak memandangnya sebagai bentuk lain dari feodalisme, melainkan kodrat.
"Perputaran zaman tidak akan pernah membuat wanita menyamai laki-laki. Wanita tetaplah wanita dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah wanita harus mendapat pendidikan dan perlakuan yang lebih baik" (Rohana Kudus).
Selamat hari Kartini!
NB: Happy Birthday to my lovely Lakeisha Kayla Athasari (teteh kekey), semoga menjadi anak yang sholehah dan membanggakan ya sayang. Amiin..
Kamu kali yang mau enaknya saja memahami kesetaraan. Jika maunya pengen sama lelaki,
BalasHapuskenapa harus mengeluh tak diberi kursi di bus
ketika hamil? Hahahaha...
Kodrat itu bukan bahwa perempuan tetap harus
melongok di dapur. Itu kontruksi budaya. Kodrat
itu adalah bahw akau melahirkan, menyusui dan
menjadi ibu :)
saya ga ngeluh mba mei, kalau saya ga hamil. Berdiri bejam-jam di kereta saya pernah dan juga ga mempermasalahkan, kalau itu hanya menyangkut diri saya sebagai wanita yang sehat walafiat. Tapi ketika saya hamil, tubuh saya ga lagi sama metabolismenya. Semua energi yang masuk, harus dibagi dua dengan baby di kandungan saya. that's why saya akan merasa cepat lelah, dan encok di sana sini jika berdiri terlalu lama. Itu bukan kehendak saya, tetapi kodrat saya sebagai wanita hamil membuat saya tidak bisa memaksakan kesetaraan gender dalam kasus ini. Jika saya egois, mungkin bisa, tapi bagaimana dengan bayi di kandungan saya? apakah dia akan baik-baik saja jika ibunya kelelahan? Ini bukan justifikasi, tetapi itulah yang betul-betul saya rasakan. Hmm.. sepertinya itulah juga mengapa commuter jabodetabek akhirnya meresmikan beberapa kursi menjadi courtesy seat yang diprioritaskan untuk ibu hamil, ibu dan balita, manula dan penyandang cacat.
BalasHapusBagaimanapun juga,dalam beberapa hal, laki-laki tidak bisa disamakan dengan wanita.
Oya, kalau kasusnya dibalik, misalnya, ada seorang manula laki-laki naik kereta, meskipun saya ga duduk di courtesy seat, saya akan menyerahkan kursi saya pada kakek itu, mba. Ga Peduli dia laki-laki, faktanya adalah dia tua dan saya lebih muda. Ga mungkin saya menuntut kesetaraan gender pada kakek itu bukan?