Selasa, 28 Juni 2011

3 years already

It was June, 28th 2008..


The moment when we were comitted each other..
Happy anniversary, husband..

We start everything from nothing, from zero.
Seeing you now, seeing me now, it's clearly that this marriage grows us.

Love never fails :)

May Alloh always bless us.  Amin YRA..

Senin, 27 Juni 2011

Happiness are all about..

... Health and Family..

Seperti yang dikatakan oleh sahabat saya, rezeki janganlah dihitung, tetapi disyukuri karena sedikit atau banyak, itu hanya masalah sudut pandang..

It's just so true..

Beberapa hari yang lalu, saya senang luar biasa mendapati sejumlah nominal masuk ke rekening saya. Langsung merasa kaya mendadak. Pikiran untuk berpartisipasi dalam Jakarta Great Sale tentu hinggap. Sebagai pemanasan, saya sudah survey ke Grand Indonesia, Pondok Indah Mall, Plaza Senayan, dan tentu saja Margocity Mall (andalan saya tiap minggu). Itu belum termasuk icip-icip jualannya sahabat-sahabat saya. Biasa lah, kalau lagi tajir suka lupa saat-saat bangkrut. And, yes, I'm impulsive buyer. Sale is very dangerous for me.

Tapi.. dua hari belakangan ini mendadak saya radang tenggorokan. Gosh, it kills all the favor. Rasanya betul-betul tidak nyaman. Jika sekiranya ada hal yang paling berharga yang terkadang terlupakan untuk disyukuri, itu adalah kesehatan..

Saya terlalu senang menghitung-hitung yang dapat dihitung, tetapi lupa untuk menghitung yang justru tidak terhitung..

Pada saat yang bersamaan saya menderita radang, bibi izin pulang kampung. Ya, it's just the three of us in home. Saya, Athazka dan papanya. Karena saya radang, alhasil kami tidak kemana-mana. Hmm.. ke PIM sih, tapi itu pun karena ingin menukar sepatu Atha yang ternyata beda nomor kiri dan kanan di Mothercare. Saya melewatkan moment sale begitu saja. Tidak tertarik. Rasanya bermain bersama anak saya menjadi jauh lebih penting. Ya benar, saya menikmati sekali peran saya sebagai ibu rumah tangga. Ada kebanggaan dan kebahagiaan yang tidak ternilai saat saya bersama keluarga kecil saya..

Ini lucu, tapi saya merasa seperti diingatkan untuk lebih bersyukur..

Jadi, semua bukan tentang uang.. no no.. never depends your happiness on money. It's about health and family..

Meski begitu, bukan berarti uang tidak penting ya. So klise jika mengingat biaya hidup zaman sekarang. Sometimes, quality is subject to price. Oleh karena itu, berpikir untuk save and invest itu tetap perlu. Dengan perencanaan finansial yang baik, mudah-mudahan apa yang dihasilkan hari ini bisa mendatangkan manfaat yang lebih besar, tidak hanya untuk diri sendiri saja tetapi untuk orang lain.

In short, money is important, but it's not everything. Jangan pernah merasa kekurangan selama masih memiliki keluarga serta dilimpahi kesehatan..

Kamis, 16 Juni 2011

Kepompong

Dulu kita sahabat
Dengan begitu hangat
Mengalahkan sinar mentari
 
Dulu kita sahabat
Berteman bagai ulat
Berharap jadi kupu-kupu

Kini kita berjalan berjauh-jauhan
Kau jauhi diriku karena sesuatu
Mungkin ku terlalu bertindak kejauhan
Namun itu karena ku sayang

Persahabatan bagai kepompong
Mengubah ulat menjadi kupu-kupu
Persahabatan bagai kepompong
Hal yang tak mudah berubah jadi indah

Persahabatan bagai kepompong
Maklumi teman hadapi perbedaan
Persahabatan bagi kepompong

Lirik lagu sindentosca di atas lagi terngiang-ngiang nih. Jadi kangen sahabat-sahabat saya, termasuk kakak dan adik-adik saya. Times when I'm around them are always healing. Setuju deh, yang namanya persahabatan itu seperti kepompong. Kalau berkualitas, akan menghasilkan kupu-kupu yang indah. Ga harus selalu seiya sekata sih coz difference is beauty in its way. Yang jelas everybody needs to be understood, bener ga?

In relationship, apapun bentuknya, kita ga boleh dong pake sudut pandang diri sendiri terus. Sekali-kali harus belajar menempatkan diri kita pada posisi orang lain. Ga boleh juga membentuk opini berdasarkan perasaan sendiri, tanpa mencari tahu latar belakang permasalahannya. Kalau memang salah, ya konsekuen, jangan balik nyerang karena pengen keliatannya bener melulu. Kenyataannya, setiap manusia bikin salah kok. Tapi juga bukan rahasia lagi kalau ego manusia itu gede. Kalau dikasih masukan, naturally akan defense duluan. "Emangnya situ orang suci?" atau "daelah kayak situ sempurna aja". Hehe, it often comes to me also..

Takes times emang untuk nerima masukan dari orang lain dengan legowo. Apalagi untuk meralat pendapat defensif kita sebelumnya.Yah, kecuali kalau tingkat keimanan udah kayak sufi ya. Tapi it's okay kok. Normal. Saya aja pernah ga bicara sama kakak saya selama 3 bulan gara-gara berantem (you know kan, when sisters get chaos, it will touch untill the depeest heart). Tapi by the time going, saya bisa memahami kakak saya dan begitu pun dia. Cerita berakhir dengan happy ending. Kata kuncinya sih satu : harus mau mengakui kesalahan kalau memang kita salah dan ga mentang-mentang punya posisi superior (misalnya kakak = orang yang lebih tua = adik harus hormat), terus ga mau keliatan salah karena gengsi. Tapi itu aja ga cukup kalau pihak yang satunya lagi masih take everything too personal alias sampai matipun masih keinget-inget kesalahan orang lain. Ya ampun, Tuhan aja Maha Pemaaf. Kalau memang bener-bener forgiven, ya harusnya forgoten lah. Ngeberat-beratin hati aja inget-inget kesalahan orang (sambil bawa kaca segede gaban ke depan muka saya sendiri).

Pada kenyataannya, kebanyakan yang menang adalah ego. Kalau menurut saya, mungkin itu mekanisme alami untuk menyeleksi persahabatan yah. Karena ketika kita sayang sama orang, bagaimanapun kesalahan yang pernah dia buat, pasti deh rasa sayangnya tetep lebih besar. Menuju perdamaian, hanya masalah siapa yang mau memulai duluan. Sebaliknya, kl rasa sayangnya ga tulus, sekecil apapun kesalahan orang itu, akan tampak bak dosa besar yang ga terampuni. Mau siapapun yang memulai, yang ada malah tambah kisruh. Yah, berarti emang ga cocok kali ya. Untuk kasus ini, memaksakan harmoni malah akan jadi boomerang. Mending jaga jarak. Bukan berarti tak sayang loh..

Selasa, 14 Juni 2011

Silly conversation (3)

Husband : Mama, kamu maunya konsep kitchen set nanti kayak gimana?

Wife : Aku pengennya yang simpel aja. Emm, kalo bisa ada kompor gas yang ada ovennya kayak punya mamah, lengkap sama penghisap asapnya. Yah yah?

Husband : Kompor gas yang itu? kamu serius? untuk apa ma?

Wife : Ya untuk baking dong pa. Kamu kan tau aku suka banget baking. Jangan lupa loh, waktu SMA dulu itu, aku sukses loh jualan kue valentine *sombong*

Husband : Yakin ma? *nada ragu-ragu*

Wife : Yakin lah. Kayaknya memang passion aku adalah baking dan cooking. Udah kebayang nih pa mama nanti masak brownies, tart, cookies, bolu kukus. Ah pokoknya Atha bisa ga jajan deh, mama bekelin terus. Ga rugi pa, hitung-hitung investasi lah..

Husband : Masa barang begitu dibilang investasi?

Wife : Iya dong. Yang namanya perlengkapan dapur itu investasi. Dari sanalah akan tercipta makanan-makanan lezat dan sehat. Tenang aja pa, you have me. Pokonya itu alat ga akan dianggurin deh..

Husband : Aduh, istri sholehah. Papa percaya kok emang deh ga diragukan lagi passion mama memang di dapur. Ngomong-ngomong, waktu mama ulang tahun kemarin papa kasih kado Happy Call double pan kan ya? Gimana perkembangannya ma?

Wife : eh, ehehe, ehee. Happy Call ya,ehehe.. (sambil sibuk mikir dimana ya disimpannya, duh jangan ilang dong)

Husband : Mama udah bisa masak apa pake Happy Call?

Wife : ngg..nggg..emm.. telor ceplok pa..  >.< (rada ngedown)

...hening sebentar...

Husband : oh telor ceplok yang kemarin itu ya? Enak banget loh ma. Beda deh kl mama yang masak, apalagi pake happy call. Wah beneran deh, passion mama emang baking dan cooking. *menghibur wife yang ngedown*

Wife : masa sih pa? kan cuma pake minyak zaitun extra light *GR dan semangat lagi*
(wife janji dalam hati bakal berhenti meng-abuse happy call dan mulai menggunakannya untuk masakan-masakan lain yang lebih serius)


Husband : iya. pokoknya telor ceplok paling enak di dunia! *lebay*

Wife : Tuh kann. Jadi, kompor gas dan oven plus penghisap asapnya di approve dong? *ga tau diri*

Husband : .................................... *serba salah dan langsung pura-pura sibuk nelepon*

#diambil dari kisah nyata dengan beberapa penyesuaian#

Senin, 13 Juni 2011

Ibu yang berhasil adalah..

.. bukan yang memiliki pendidikan yang tinggi,
Bukan yang memiliki karier gemilang,
Bukan yang memiliki tempat di lingkungan sosialnya
Bukan yang terafiliasi dengan banyak komunitas,
Bukan yang rajin datang ke pengajian,
Bukan pula yang punya banyak waktu di rumah..

Ibu yang berhasil adalah..
Mereka yang berhasil menjauhkan putera-puterinya dari pergaulan bebas dan narkoba!

Lalu bagaimanakah caranya? Saya juga tidak tau. Saya belum bisa berpendapat apapun tentang ini karena saya masih menjalani prosesnya.

Beberapa pendapat mengatakan bahwa pola pengasuhan yang konservatif adalah yang terbaik. Ibu turun tangan langsung mengasuh anaknya sampai mengurusi ke detail-detailnya, ayah fokus pada karier sebagai pencari nafkah. Bukankah kodrat wanita yang ideal seperti itu?

Tidak juga. Rasanya perlu dibedakan antara kodrat dan konstruksi budaya. Bahwa seorang wanita akan menajadi ibu, yes itu kodrat. Tetapi menjadi penyelenggara semua kegiatan domestik, itu kontruksi budaya. Tidak ada dalil agama atau apapun yang melarang seorang wanita, even ketika dia sudah menjadi ibu untuk mengembangkan diri. Namun, konstruksi budaya yang masih terpengaruh nilai-nilai feodalisme seringkali menyematkan stempel egois pada mereka yang memilih jalan itu.

Apabila dikaitkan dengan dua issues parenting tadi, jika benar pola pengasuhan konservatif berkorelasi terhadap hal tersebut, lalu mengapa kasus-kasus anak-anak/remaja yang terjerumus pergaulan bebas/narkoba justru lebih banyak terjadi pada keluarga yang ibunya merupakan ibu rumah tangga? Saya pernah mendengar hal ini waktu talkshow Kick Andy beberapa waktu yang lalu (CMIIW). Saya terkejut dan agak miris juga, tapi begitulah adanya. Seorang narasumber mengatakan fenomena itu sebagai 'orangtua ada tapi tiada'. Secara fisik dia ada di rumah, tetapi secara emosional, pikirannya ada dibanyak tempat.

Saya sendiri  merupakan produk dari pengasuhan seorang wanita karir. Pada masa kecil saya, banyak pertanyaan yang menghinggapi saya mengapa ibu harus bekerja. Tetapi seiring perkembangan saya, pertanyaan-pertanyaan seperti itu berganti menjadi kebanggaan. Saya senang karena ibu saya memiliki wawasan yang luas. Saya senang karena saya bisa bertanya banyak hal padanya dan dijawab dengan ilmiah dan analitis (yang seringkali membua saya kecil termangap-mangap). Saya senang karena ibu selalu mendukung saya untuk memiliki cita-cita setinggi langit. Saya ingat, waktu kecil saya seringkali menuliskan nama saya lengkap dengan gelar profesor, doktor dan master. Saya menconteknya dari gelar ibu Miranda Goeltom, orang yang dua puluh tahun kemudian sempat menjadi pimpinan puncak dimana saya bekerja (Pertama kali bertemu beliau, saya merasa kembali menjadi kanak-kanak yang penuh euforia). Meski bekerja, saya dapat mengatakan ibu saya sukses karena saya dan saudara-saudara saya tidak tersentuh oleh pergaulan bebas dan narkoba. Saya bertanya pada ibu, apa rahasianya? Ibu saya hanya mengatakan : Banyaklah berdo'a, nak. Mama selalu menitipkan kalian semua kepada Allah, pemilik kalian yang sesungguhnya..

Sesederhana itu, tapi benar adanya. Mungkin kita terlalu banyak berteori.

Jadi, bagi para wanita yang ingin mengaktualisasikan dirinya, go ahead. Menurut saya, hal tersebut tetap perlu, apapun wujudnya. tergantung passion, karena secara teori (again, teori lagi), kebutuhan aktualisasi diri ini akan muncul jika kebutuhan dasar (sandang, pangan, papan) sampai lapis ketiganya (social needs) sudah terpenuhi. Bukannya sombong, tetapi rasanya memang sulit untuk menjelaskan mengenai kebutuhan aktualisasi ini kepada orang-orang yang masih strugling dengan kebutuhan dasar sampai lapis ketiga itu tadi. Kesannya jadi banyak maunya. Padahal itu fitrah. Dan ini sudah divalidasi oleh berbagai penelitian, salah satunya oleh Abraham Maslow.

Tapi itu baru teori ya, prakteknya sendiri saya belum bisa memvalidasi berdasarkan pengalaman saya sendiri. I'm still working on it. Yang jelas, menjalankan peran ganda memang tidak bisa dikatakan ringan. Mengejar impian tanpa mengesampingkan tugas sebagai ibu itu luar biasa sulitnya. Tapi saya ga mau mengunderestimate diri sendiri. Selama agama saya ga melarang, selama suami saya merindhoi, saya ingin terus berkarya semampu saya. Untuk saya, dan untuk Athazka. One day, saya ingin membuat dia bangga akan pilihan saya sebagaimana saya bangga terhadap pilihan ibu saya.

Saya sendiri tidak pernah memandang negatif terhadap wanita-wanita hebat yang tetap melanjutkan cita-cita dan mimpinya, even when she alrady has a child/children. Diantaranya teman baik saya, Sita (yang saat ini berada di London, pursuing her dream with a baby inside her uterus, and a boy awaiting in Indonesia), Mba Meidi (yang secara konsisten masih rajin menulis resensi buku diantara kesibukannya menjadi ibu dari 3 anak yang beranjak dewasa), Mita (yang rajin mempublish tulisan-tulisan ilmiah bertema psikologi, diantara kesibukannya membesarkan anak), Ichan  ( yang saat ini sedang berjuang menyelesaikan studi doktornya di Jepang dengan ditemani yuuki yang masih bayi), Mbak Laila (yang sedang merampungnya studi doktornya di UGM dengan ditemani si cantik endek, yang masih SD), dan banyak lainnya. Mereka semua mengagumkan.. 

Jadi, marilah kita menjalankan peran kita dengan baik as parents. Tidak ada standar ideal, karena, once again,  ibu yang berhasil, orangtua yang berhasil adalah mereka yang bisa mengawal anak-anaknya dengan baik dan terhindar dari hal-hal negatif. That's it.

Semoga saya bisa, sebagaimana ibu saya bisa.. Amin ya Allah

Jumat, 10 Juni 2011

Ada yang tambah gemuk :p

.. dan itu bukan saya. Saya masih stabil di 157cm/53kg, langsing cenderung berisi. Thanks God that my student's weight dan shape is back :)

Setelah melewati beberapa tahapan dalam 6 bulan belakangan, my husband also gets his student's weight, tapi pas master yaa.. hahahaha..

Ini dia..


Paling ganteng ga sih? *ya eyalah, secara saingannya cuma sama bapak yang lebih tua itu*


Lebarnya yang paling kiri itu.. mantep deh (makan tempat maksudnya, hehe)

Anyway, selamat ya husband.. for getting that weight. As you always said : six pack is good, but six fat is even better :)

Tapi saya maunya langsing terus dong, biar ga keliatan ibu-ibu banget.. hihihihi..

Kiss..kiss.. 

Selasa, 07 Juni 2011

Atha's first step to school

Saya baru saja mengajukan izin untuk datang siang esok hari. Insya Alloh saya mau mendaftarkan Atha sekolah. Hihi, bayi lucu saya akhirnya sekolah juga. Sebetulnya ini bukan sekolah sungguhan, hanya berupa taman Qur'ani. Lokasinya pun di dekat rumah. Biayanya, amat sangat murah dibandingkan dengan sekolah-sekolah 'serius' yang pernah saya survey.

Saya memutuskan untuk mendaftarkan Atha sekolah setelah free trial hari Jum'at dan Senin kemarin berhasil, dalam arti kata Atha tidak menangis dan malahan girang bukan kepalang. Tadinya sih saya baru akan mendaftarkan Atha sekolah setelah dia berusia 3 tahun. Tetapi karena anak tetangga saya yang berusia lebih tua dari Atha sekolah, Atha tidak mau ketinggalan. Awalnya sih ikut-ikutan, tetapi kelihatannya Atha malah lebih bersemangat dari teman-temannya. Hmm.. mungkin Atha menuruni jiwa seleb saya, suka sekali berteman *halah narsis*

Sekolah 'main-mainan' ini rencananya berjalan 3 kali seminggu, senin rabu dan jum'at. Masing-masing pertemuan 2 jam. Tidak ada seragam. Kurikulum juga tidak didesain sophisticated. Waktu trial kemarin Atha hanya diajarkan macam-macam warna, lagu-lagu,, do'a sehari-hari, sisanya main-main. Meski begitu, saya cukup impressed. Menurut saya, untuk anak berusia 2 tahun, yang paling penting adalah kemandirian dan disiplin. Urusan belajar, nanti dulu. Biarkan mereka bermain, tetapi harus mulai diajari mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak, belajar mengambil keputusan sendiri serta bertanggungjawab atas keputusannya tersebut. Sebagai contoh : Pada hari sekolah, Atha akan belajar untuk disiplin waktu. Jam 8 pagi harus sudah menyelesaikan makan pagi dan mandi. Kalau dia berlama-lama (yg seringkali dia lakukan), maka dia akan ketinggalan sekolah.

Oya, yang saya senang, semenjak sekolah, Atha jadi tidak terlalu sulit untuk diajarkan berdo'a dan bernyanyi. Sekarang dia sudah hapal do'a sebelum makan dan tidur loh (sebelumnya juga sudah bisa, tetapi kerap enggan jika diminta). Kalau urusan bernyanyi, wah.. otaknya menyerap lebih cepat daripada spoons. Bisa dibilang, hampir semua lagu anak-anak dia sudah hapal. Sekolah membantu pelafalannya dengan lebih baik. Maklum, teman-temannya berusia lebih tua dari Atha, dan bernyanyi dengan lebih lancar. Atha jadi terpacu. Oya, Saya rasa minat menyanyi ini juga diturunkan dari saya. Mungkin beberapa tahun lagi saya akan ajak dia ke happy puppy *eaa, tetep narsis*

Planning pendidikan 'serius' Atha sendiri sudah terbayang oleh saya, tetapi semua baru akan dimulai saat dia berusia 3 tahun. Diantara sekolah yang saya inginkan adalah Pre-school/TK Khayangan Montessori School (KMS). Saya jatuh cinta dengan metode Montessori. Di Depok, sekolah yang pro metode ini adalah KMS. Untuk seni, saya sudah menyasar Yamaha Music Scool (mereka menerima murid berusia 3 tahun). Untuk olahraga, kemungkinan besar saya akan mendaftarkannya untuk les berenang. Semuanya di dekat rumah (ya, ya rumah saya kebetulan di pusat kota)

Tapi itu masih dalam tahap perencanaan. Saya belum memasukan kalkulasi jika saya jadi memutuskan untuk bersekolah di luar negeri. Oya, biaya pendidikan untuk rencana 'serius' itu juga tidak sedikit loh *lap keringat* Saya amat sangat sarankan deh untuk mulai melirik instrumen-instrumen investasi yang likuid sejak sekarang jika ingin memberikan pendidikan yang terbaik untuk putera-puteri kita.

Aduh, saya masih terbawa haru dan euforia karena besok bayi mungil saya akan melangkahkan kakinya ke sekolah. Jadilah anak yang cerdas dan bermanfaat ya nak..

Rabu, 01 Juni 2011

Yin dan Yang

Saya baru selesai membaca tulisan teman saya, Mita, yang -seperti biasa- inspiratif. (Kapan ya saya bisa punya blog yang isinya ilmiah dan ga narsis? Ayu, ayo kita selesaikan misi kita). Saya jadi merenung sendiri. Allah Maha Besar, diciptakannya manusia dengan tipikalitas yang secara fitrah memang berbeda. Tapi ketika dua manusia menjadi satu, perbedaan ini malah justru saling melengkapi dan menyeimbangkan kehidupan. Seperti yin dan yang.

Filosofi yin dan yang ini juga yang mungkin tepat untuk menjelaskan the perfectly imperfect marriage. Kata siapa menikah itu isinya happy dan happy saja. Kata siapa perjalanannya hanya akan mulus dan mulus. Kata siapa grafiknya hanya up dan up? Ketika dua manusia yang secara fitrah berbeda, ditambah dengan latar belakang keluarga, budaya, atau pendidikan yang juga beda, sudah pasti ketika mereka menjadi satu, tantangan pergolakan akan ada. Naturally.

Saya sendiri sebagai seorang individu, saya merasa diri saya cukup easy going. Saya dikenal sebagai orang yang tidak banyak bicara. Saya tegas, tetapi hanya untuk hal-hal yang menyentuh area privacy saya, selebihnya bisa dikatakan zone of tolerance saya hampir tidak berbatas. Buktinya, saya punya banyak lingkaran pergaulan dan juga terafiliasi dengan beberapa komunitas. But when it comes to marriage...

...Saya menjadi kebanyakan ibu-ibu lainnya. Saya suka ngomel. Dan jiwa perfeksionis saya begitu tersiksa melihat banyak 'kengasalan' kelakuan laki-laki. Mereka ternyata suka sekali menaruh handuk di kasur (yang membuat kasur saya jadi lembab dan kadang berjamur), lupa tanggal-tanggal penting, pacaran sama handphone kalau diajak shopping, sembarangan meletakan benda, suka lupa menutup toilet, dan kebiasaan-kebiasaan lain yang membuat saya tanpa sadar jadi hobi ngomel-ngomel. Arrgggh it's so not me.  

Tapi setelah membaca tulisan Mita, saya tersadar bahwa I'm just being normal. 20.000 kata sehari loh patokannnya.. :)

Saya terkadang mereview kenapa saya yang cenderung pendiem ini jadi suka ngomel. Mungkin karena saya begitu menyayangi suami saya (husband, note this) sehingga saya ingin suami saya berperilaku tertib. Itu kan untuk kebaikannya sendiri? defense mode :on

Alih-alih merubah kengasalannya, suami saya lebih cenderung menerima dengan pasrah omelan saya. Maybe that's the best he can do. Merubah kengasalan laki-laki mungkin sama halnya dengan merubah jati diri. Akhir percakapan, saya malah suka tertawa sendiri melihat kepasrahan dia. He just can't stop do those -annoying me- things for this reason : I'm just being normal, every man does :)

Oke, sepertinya saya ya yang harus melonggarkan sedikit standar ketertiban saya untuk suami saya. See, pernikahan adalah proses pembelajaran. Atau mungkin itulah mengapa Allah mempertemukan saya yang perfeksionis dengan suami saya yang ngasal? Kami seperti yin dan yang. Komposisi kami naturally akan saling melengkapi. Hmm.. kalau saya pikir-pikir, suami saya ini seperti antitesa saya, tapi setelah menikah dengannya saya justru banyak tertawa..

Mungkin benar, kami seperti yin dan yang..  :)

Yes, there are lots of tears, but the smiles and laughs are even more..

I Love June!

Things that make me love june are..

Pertama, *tarik nafas*, Juni adalah bulan dimana saya resmi diangkat sebagai pegawai di instansi tempat saya bekerja. Alhamdulillah, tahun 2011 ini berarti saya resmi 4 tahun mengabdi *eeeaaa bahasaa*
Happy birthday ya buat rekan-rekan PCPM angkatan 27-1. Ayo semangat biar cepet promosi, hihihi.
(time flies yah. Rasanya baru kemarin deh signed kontrak dengan berbunga-bunga, eh tahu-tahu sudah 4 tahun) 

Kedua (ini sebenernya efek multiplier dari yang pertama sih), per 1 Juni, jatah cuti tahunan saya muncul lagi. yes..yes..yes! *gini nih nasib fakir cuti belum punya jatah cuti tahunan/cuti besar*

Ketiga (nah kalau yang ini efek turunan dari yang kedua), karena bulan ini adalah bulan cuti, maka akhir bulan ini saya akan terima salary yang lebih dari biasanya. Yippie..*nabung.. shopping..nabung..shopping..nabung..shopping*

Last, but not least.. it's my marriage anniversary.. Insya Allah 3 tahun tanggal 28 nanti :)

Allah, makasih untuk semuanya ya..

Ps: Bonus Juni tahun ini : Long wiken! husband, ayo kita kemana gitu..