.. bukan yang memiliki pendidikan yang tinggi,
Bukan yang memiliki karier gemilang,
Bukan yang memiliki tempat di lingkungan sosialnya
Bukan yang terafiliasi dengan banyak komunitas,
Bukan yang rajin datang ke pengajian,
Bukan pula yang punya banyak waktu di rumah..
Ibu yang berhasil adalah..
Mereka yang berhasil menjauhkan putera-puterinya dari pergaulan bebas dan narkoba!
Lalu bagaimanakah caranya? Saya juga tidak tau. Saya belum bisa berpendapat apapun tentang ini karena saya masih menjalani prosesnya.
Beberapa pendapat mengatakan bahwa pola pengasuhan yang konservatif adalah yang terbaik. Ibu turun tangan langsung mengasuh anaknya sampai mengurusi ke detail-detailnya, ayah fokus pada karier sebagai pencari nafkah. Bukankah kodrat wanita yang ideal seperti itu?
Tidak juga. Rasanya perlu dibedakan antara kodrat dan konstruksi budaya. Bahwa seorang wanita akan menajadi ibu, yes itu kodrat. Tetapi menjadi penyelenggara semua kegiatan domestik, itu kontruksi budaya. Tidak ada dalil agama atau apapun yang melarang seorang wanita, even ketika dia sudah menjadi ibu untuk mengembangkan diri. Namun, konstruksi budaya yang masih terpengaruh nilai-nilai feodalisme seringkali menyematkan stempel egois pada mereka yang memilih jalan itu.
Apabila dikaitkan dengan dua issues parenting tadi, jika benar pola pengasuhan konservatif berkorelasi terhadap hal tersebut, lalu mengapa kasus-kasus anak-anak/remaja yang terjerumus pergaulan bebas/narkoba justru lebih banyak terjadi pada keluarga yang ibunya merupakan ibu rumah tangga? Saya pernah mendengar hal ini waktu talkshow Kick Andy beberapa waktu yang lalu (CMIIW). Saya terkejut dan agak miris juga, tapi begitulah adanya. Seorang narasumber mengatakan fenomena itu sebagai 'orangtua ada tapi tiada'. Secara fisik dia ada di rumah, tetapi secara emosional, pikirannya ada dibanyak tempat.
Saya sendiri merupakan produk dari pengasuhan seorang wanita karir. Pada masa kecil saya, banyak pertanyaan yang menghinggapi saya mengapa ibu harus bekerja. Tetapi seiring perkembangan saya, pertanyaan-pertanyaan seperti itu berganti menjadi kebanggaan. Saya senang karena ibu saya memiliki wawasan yang luas. Saya senang karena saya bisa bertanya banyak hal padanya dan dijawab dengan ilmiah dan analitis (yang seringkali membua saya kecil termangap-mangap). Saya senang karena ibu selalu mendukung saya untuk memiliki cita-cita setinggi langit. Saya ingat, waktu kecil saya seringkali menuliskan nama saya lengkap dengan gelar profesor, doktor dan master. Saya menconteknya dari gelar ibu Miranda Goeltom, orang yang dua puluh tahun kemudian sempat menjadi pimpinan puncak dimana saya bekerja (Pertama kali bertemu beliau, saya merasa kembali menjadi kanak-kanak yang penuh euforia). Meski bekerja, saya dapat mengatakan ibu saya sukses karena saya dan saudara-saudara saya tidak tersentuh oleh pergaulan bebas dan narkoba. Saya bertanya pada ibu, apa rahasianya? Ibu saya hanya mengatakan : Banyaklah berdo'a, nak. Mama selalu menitipkan kalian semua kepada Allah, pemilik kalian yang sesungguhnya..
Sesederhana itu, tapi benar adanya. Mungkin kita terlalu banyak berteori.
Jadi, bagi para wanita yang ingin mengaktualisasikan dirinya, go ahead. Menurut saya, hal tersebut tetap perlu, apapun wujudnya. tergantung passion, karena secara teori (again, teori lagi), kebutuhan aktualisasi diri ini akan muncul jika kebutuhan dasar (sandang, pangan, papan) sampai lapis ketiganya (social needs) sudah terpenuhi. Bukannya sombong, tetapi rasanya memang sulit untuk menjelaskan mengenai kebutuhan aktualisasi ini kepada orang-orang yang masih strugling dengan kebutuhan dasar sampai lapis ketiga itu tadi. Kesannya jadi banyak maunya. Padahal itu fitrah. Dan ini sudah divalidasi oleh berbagai penelitian, salah satunya oleh Abraham Maslow.
Tapi itu baru teori ya, prakteknya sendiri saya belum bisa memvalidasi berdasarkan pengalaman saya sendiri. I'm still working on it. Yang jelas, menjalankan peran ganda memang tidak bisa dikatakan ringan. Mengejar impian tanpa mengesampingkan tugas sebagai ibu itu luar biasa sulitnya. Tapi saya ga mau mengunderestimate diri sendiri. Selama agama saya ga melarang, selama suami saya merindhoi, saya ingin terus berkarya semampu saya. Untuk saya, dan untuk Athazka. One day, saya ingin membuat dia bangga akan pilihan saya sebagaimana saya bangga terhadap pilihan ibu saya.
Saya sendiri tidak pernah memandang negatif terhadap wanita-wanita hebat yang tetap melanjutkan cita-cita dan mimpinya, even when she alrady has a child/children. Diantaranya teman baik saya,
Sita (yang saat ini berada di London, pursuing her dream with a baby inside her uterus, and a boy awaiting in Indonesia), Mba
Meidi (yang secara konsisten masih rajin menulis resensi buku diantara kesibukannya menjadi ibu dari 3 anak yang beranjak dewasa),
Mita (yang rajin mempublish tulisan-tulisan ilmiah bertema psikologi, diantara kesibukannya membesarkan anak),
Ichan ( yang saat ini sedang berjuang menyelesaikan studi doktornya di Jepang dengan ditemani yuuki yang masih bayi), Mbak Laila (yang sedang merampungnya studi doktornya di UGM dengan ditemani si cantik
endek, yang masih SD), dan banyak lainnya. Mereka semua mengagumkan..
Jadi, marilah kita menjalankan peran kita dengan baik as parents. Tidak ada standar ideal, karena, once again, ibu yang berhasil, orangtua yang berhasil adalah mereka yang bisa mengawal anak-anaknya dengan baik dan terhindar dari hal-hal negatif. That's it.
Semoga saya bisa, sebagaimana ibu saya bisa.. Amin ya Allah