Dulu kita sahabat
Dengan begitu hangat
Mengalahkan sinar mentari
Dulu kita sahabat
Berteman bagai ulat
Berharap jadi kupu-kupu
Kini kita berjalan berjauh-jauhan
Kau jauhi diriku karena sesuatu
Mungkin ku terlalu bertindak kejauhan
Namun itu karena ku sayang
Persahabatan bagai kepompong
Mengubah ulat menjadi kupu-kupu
Persahabatan bagai kepompong
Hal yang tak mudah berubah jadi indah
Persahabatan bagai kepompong
Maklumi teman hadapi perbedaan
Persahabatan bagi kepompong
Lirik lagu sindentosca di atas lagi terngiang-ngiang nih. Jadi kangen sahabat-sahabat saya, termasuk kakak dan adik-adik saya. Times when I'm around them are always healing. Setuju deh, yang namanya persahabatan itu seperti kepompong. Kalau berkualitas, akan menghasilkan kupu-kupu yang indah. Ga harus selalu seiya sekata sih coz difference is beauty in its way. Yang jelas everybody needs to be understood, bener ga?
In relationship, apapun bentuknya, kita ga boleh dong pake sudut pandang diri sendiri terus. Sekali-kali harus belajar menempatkan diri kita pada posisi orang lain. Ga boleh juga membentuk opini berdasarkan perasaan sendiri, tanpa mencari tahu latar belakang permasalahannya. Kalau memang salah, ya konsekuen, jangan balik nyerang karena pengen keliatannya bener melulu. Kenyataannya, setiap manusia bikin salah kok. Tapi juga bukan rahasia lagi kalau ego manusia itu gede. Kalau dikasih masukan, naturally akan defense duluan. "Emangnya situ orang suci?" atau "daelah kayak situ sempurna aja". Hehe, it often comes to me also..
Takes times emang untuk nerima masukan dari orang lain dengan legowo. Apalagi untuk meralat pendapat defensif kita sebelumnya.Yah, kecuali kalau tingkat keimanan udah kayak sufi ya. Tapi it's okay kok. Normal. Saya aja pernah ga bicara sama kakak saya selama 3 bulan gara-gara berantem (you know kan, when sisters get chaos, it will touch untill the depeest heart). Tapi by the time going, saya bisa memahami kakak saya dan begitu pun dia. Cerita berakhir dengan happy ending. Kata kuncinya sih satu : harus mau mengakui kesalahan kalau memang kita salah dan ga mentang-mentang punya posisi superior (misalnya kakak = orang yang lebih tua = adik harus hormat), terus ga mau keliatan salah karena gengsi. Tapi itu aja ga cukup kalau pihak yang satunya lagi masih take everything too personal alias sampai matipun masih keinget-inget kesalahan orang lain. Ya ampun, Tuhan aja Maha Pemaaf. Kalau memang bener-bener forgiven, ya harusnya forgoten lah. Ngeberat-beratin hati aja inget-inget kesalahan orang (sambil bawa kaca segede gaban ke depan muka saya sendiri).
Pada kenyataannya, kebanyakan yang menang adalah ego. Kalau menurut saya, mungkin itu mekanisme alami untuk menyeleksi persahabatan yah. Karena ketika kita sayang sama orang, bagaimanapun kesalahan yang pernah dia buat, pasti deh rasa sayangnya tetep lebih besar. Menuju perdamaian, hanya masalah siapa yang mau memulai duluan. Sebaliknya, kl rasa sayangnya ga tulus, sekecil apapun kesalahan orang itu, akan tampak bak dosa besar yang ga terampuni. Mau siapapun yang memulai, yang ada malah tambah kisruh. Yah, berarti emang ga cocok kali ya. Untuk kasus ini, memaksakan harmoni malah akan jadi boomerang. Mending jaga jarak. Bukan berarti tak sayang loh..
In relationship, apapun bentuknya, kita ga boleh dong pake sudut pandang diri sendiri terus. Sekali-kali harus belajar menempatkan diri kita pada posisi orang lain. Ga boleh juga membentuk opini berdasarkan perasaan sendiri, tanpa mencari tahu latar belakang permasalahannya. Kalau memang salah, ya konsekuen, jangan balik nyerang karena pengen keliatannya bener melulu. Kenyataannya, setiap manusia bikin salah kok. Tapi juga bukan rahasia lagi kalau ego manusia itu gede. Kalau dikasih masukan, naturally akan defense duluan. "Emangnya situ orang suci?" atau "daelah kayak situ sempurna aja". Hehe, it often comes to me also..
Takes times emang untuk nerima masukan dari orang lain dengan legowo. Apalagi untuk meralat pendapat defensif kita sebelumnya.Yah, kecuali kalau tingkat keimanan udah kayak sufi ya. Tapi it's okay kok. Normal. Saya aja pernah ga bicara sama kakak saya selama 3 bulan gara-gara berantem (you know kan, when sisters get chaos, it will touch untill the depeest heart). Tapi by the time going, saya bisa memahami kakak saya dan begitu pun dia. Cerita berakhir dengan happy ending. Kata kuncinya sih satu : harus mau mengakui kesalahan kalau memang kita salah dan ga mentang-mentang punya posisi superior (misalnya kakak = orang yang lebih tua = adik harus hormat), terus ga mau keliatan salah karena gengsi. Tapi itu aja ga cukup kalau pihak yang satunya lagi masih take everything too personal alias sampai matipun masih keinget-inget kesalahan orang lain. Ya ampun, Tuhan aja Maha Pemaaf. Kalau memang bener-bener forgiven, ya harusnya forgoten lah. Ngeberat-beratin hati aja inget-inget kesalahan orang (sambil bawa kaca segede gaban ke depan muka saya sendiri).
Pada kenyataannya, kebanyakan yang menang adalah ego. Kalau menurut saya, mungkin itu mekanisme alami untuk menyeleksi persahabatan yah. Karena ketika kita sayang sama orang, bagaimanapun kesalahan yang pernah dia buat, pasti deh rasa sayangnya tetep lebih besar. Menuju perdamaian, hanya masalah siapa yang mau memulai duluan. Sebaliknya, kl rasa sayangnya ga tulus, sekecil apapun kesalahan orang itu, akan tampak bak dosa besar yang ga terampuni. Mau siapapun yang memulai, yang ada malah tambah kisruh. Yah, berarti emang ga cocok kali ya. Untuk kasus ini, memaksakan harmoni malah akan jadi boomerang. Mending jaga jarak. Bukan berarti tak sayang loh..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar