Saya baru selesai membaca tulisan teman saya, Mita, yang -seperti biasa- inspiratif. (Kapan ya saya bisa punya blog yang isinya ilmiah dan ga narsis? Ayu, ayo kita selesaikan misi kita). Saya jadi merenung sendiri. Allah Maha Besar, diciptakannya manusia dengan tipikalitas yang secara fitrah memang berbeda. Tapi ketika dua manusia menjadi satu, perbedaan ini malah justru saling melengkapi dan menyeimbangkan kehidupan. Seperti yin dan yang.
Filosofi yin dan yang ini juga yang mungkin tepat untuk menjelaskan the perfectly imperfect marriage. Kata siapa menikah itu isinya happy dan happy saja. Kata siapa perjalanannya hanya akan mulus dan mulus. Kata siapa grafiknya hanya up dan up? Ketika dua manusia yang secara fitrah berbeda, ditambah dengan latar belakang keluarga, budaya, atau pendidikan yang juga beda, sudah pasti ketika mereka menjadi satu, tantangan pergolakan akan ada. Naturally.
Saya sendiri sebagai seorang individu, saya merasa diri saya cukup easy going. Saya dikenal sebagai orang yang tidak banyak bicara. Saya tegas, tetapi hanya untuk hal-hal yang menyentuh area privacy saya, selebihnya bisa dikatakan zone of tolerance saya hampir tidak berbatas. Buktinya, saya punya banyak lingkaran pergaulan dan juga terafiliasi dengan beberapa komunitas. But when it comes to marriage...
...Saya menjadi kebanyakan ibu-ibu lainnya. Saya suka ngomel. Dan jiwa perfeksionis saya begitu tersiksa melihat banyak 'kengasalan' kelakuan laki-laki. Mereka ternyata suka sekali menaruh handuk di kasur (yang membuat kasur saya jadi lembab dan kadang berjamur), lupa tanggal-tanggal penting, pacaran sama handphone kalau diajak shopping, sembarangan meletakan benda, suka lupa menutup toilet, dan kebiasaan-kebiasaan lain yang membuat saya tanpa sadar jadi hobi ngomel-ngomel. Arrgggh it's so not me.
Tapi setelah membaca tulisan Mita, saya tersadar bahwa I'm just being normal. 20.000 kata sehari loh patokannnya.. :)
Saya terkadang mereview kenapa saya yang cenderung pendiem ini jadi suka ngomel. Mungkin karena saya begitu menyayangi suami saya (husband, note this) sehingga saya ingin suami saya berperilaku tertib. Itu kan untuk kebaikannya sendiri? defense mode :on
Alih-alih merubah kengasalannya, suami saya lebih cenderung menerima dengan pasrah omelan saya. Maybe that's the best he can do. Merubah kengasalan laki-laki mungkin sama halnya dengan merubah jati diri. Akhir percakapan, saya malah suka tertawa sendiri melihat kepasrahan dia. He just can't stop do those -annoying me- things for this reason : I'm just being normal, every man does :)
Oke, sepertinya saya ya yang harus melonggarkan sedikit standar ketertiban saya untuk suami saya. See, pernikahan adalah proses pembelajaran. Atau mungkin itulah mengapa Allah mempertemukan saya yang perfeksionis dengan suami saya yang ngasal? Kami seperti yin dan yang. Komposisi kami naturally akan saling melengkapi. Hmm.. kalau saya pikir-pikir, suami saya ini seperti antitesa saya, tapi setelah menikah dengannya saya justru banyak tertawa..
Mungkin benar, kami seperti yin dan yang.. :)
Yes, there are lots of tears, but the smiles and laughs are even more..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar