Setelah sekian lama, akhirnya saya pingin nyampah lagi di blog. Tiba-tiba kepikiran pingin nulis tema working mom lagi. Sampai sekarang dan entah sampai kapan issue ini akan jadi hot topics.
Suka heran deh. Kan manusia itu beda-beda. Bisa ga sih saling menghargai aja. Toh diantara semua perbedaan, benang merahnya ada kok : kita semua pingin hidup bahagia, selamat dunia akhirat. Ya kan?
Saya suka dengan timeline teman saya yang kurang lebih bilang bahwa mau bekerja atau di rumah, yang membedakan seorang ibu dengan yang lainnya hanya keberadaan fisik saja. Kalau kadar cinta mah, pasti sama. Langsung saya retweet. Setuju banget. Sungguh jahat orang yang berkomentar ibu bekerja itu ibu yang egois. Oh C'mon. Lo punya alat apa gitu yang bisa ngukur kadar cinta orang lain sama anaknya, dan yakin banget kalo rasa sayang lo udah pasti lebih besar daripada orang lain hanya karena lo di rumah dan dia kerja?
Dasar resek ih. Cih.
Atau, di lain waktu, ada juga yang mengkait-kaitkan dengan kodrat. Ya Alloh, tahun 2012 masih ada aja ya yang belum bisa membedakan apa itu kodrat. Kodrat perempuan itu tuh ya : punya rahim, punya payudara, mengalami menstruasi, dan hal-hal given semacam itu. Masalah kerja atau engga, itu balik lagi ke kondisi rumahtangga dan tentunya orang itu sendiri. Gemes banget kalau masih ada aja yang nyinyir berkodrat-kodrat ria. Hih.
Perempuan kerja lari dari kodrat? sebelah mananya?
Gw kerja tapi gw tetep punya anak, menyusui anak gw juga, mengurus suami gw juga kok. Masalahnya definisi mengurus suami dan anak itu yang ga sama. Suami gw sendiri ga masalah dengan definisi 'mengurus keluarga' ala gw. Toh gw juga ga pernah ngeribetin dia sama urusan cuci baju, masak, nyapu, ngepel dan pekerjaan domestik lainnya, (meskipun kalau dia mau involve sampai kesitu gw akan sangat terharu juga sih). So, gw cukup disupport untuk kerja daripada stay di rumah tapi sibuk sirikin orang dan ngerongrongin suami.
Jadi kalo masih ada yang ngomong gitu sih, saya suka mengibur diri dengan menganggap : Kalo yang ngomong cowok, mungkin dia ini kuper atau ga pede punya istri kerja kali, jadi justifikasinya kesana. Kalo yang komen cewek, pilihannya antara kurang wawasan atau iri. Deep down insidenya pengen juga tuh padahal nyobain gegayaan pake blazer, heels,meeting dengan kece, atau mininal dandannya ga cuman buat foto-foto naris doang lah. hihihi. Ih kok jadi ikutan nyinyir gini sih. Skip.
Eh tapi yah, sesungguhnya, bohong banget kalo saya ga kepikiran untuk stay at home. Itu pencitraan doang. Gini-gini, jiwa saya tetaplah jiwa emak-emak. Pasti pingin lah ngikutin tumbuh kembang anak dengan mata kepala sendiri. Terus kenapa sampe sekarang masih kerja?
Ngg, agak ribet dan panjang penjelasannya. Semua ga semata karena actualizations needs. Dulu sebelum menikah, iya banget saya perlu aktualisasi diri secara temen-temen semua udah duluan kerja di tempat yang bonafid. Gengsi juga kan. Tapi, setelah menikah, orientasi berubah. Aktualisasi diri ga sampe segitunya. Apalagi setelah menikah, selang sebulan, saya langsung hamil. Ostosmastis dong yang ada dipikiran nomor 1 adalah anak.
Sejak itu, saya mulai deh ribet tarik-tarikan antara mau lanjut berkarir atau stop. Kalo kata atasan saya yang sudah puluhan tahun kerja, katanya biasa itu kalo perempuan kerja pengen berhenti. Gubraknya, ucapan itu keluar dari ibu bos dengan pangkat tertinggi di kantor. Beliau berhasil melewati masa-masa itu dengan baik. Tapi dulu, ternyata sama aja ya, perempuan dimana-mana juaranya galau.
Jadi gini, pertimbangan saya sendiri kenapa masih lanjut adalah karena situasi dan kondisi rumah tangga saya masih memungkinkan untuk itu. Selain itu, kalau di lihat dari fasilitas remunerasi kantor, masih sayang untuk dilepas. Apalagi anak dan suami juga ditanggung. Double protection kan jadinya, bisa ke kantor suami atau ke kantor saya. Saya ga tau umur saya, saya juga ga tau apa yang akan terjadi di depan, yang bisa saya lakukan adalah mempersiapkan yang terbaik untuk keluarga saya, terutama anak, jika something happen with me or husband. Bukan ga percaya sama Alloh, tapi masak salah sih kalau kita mempersiapkan segala sesuatunya sebaik mungkin? Alloh juga ga pingin kan kita cuma ongkang-ongkang terus sim salabim apa yang kita mau tiba-tiba terwujud. Harus ikhtiar dong ya..
I don't say that stay at home itu ongkang-ongkang, No. Saya juga tau gimana capeknya mengurus rumathangga, anak, suami dan hal-hal domestik lainnya. Sama, those activities are also time consuming and exhausting. I really put my appreciation on that. It is also part of ikhtiar. Tapi kembali lagi ke situasi dan kondisi rumah tangga masing-masing. For now, it's just not applicable in mine. Entah nanti.
Balik lagi ke alasan kenapa masih kerja, bagi saya ini juga bisa jadi salah satu wujud syukur saya. Sungguh saya bersyukur diberikan Alloh banyak kemampuan, lalu ketika saya mewujudkan rasa syukur saya dengan berusaha mengotimalkannya dengan berkontribusi untuk negara, apa itu salah? mudah-mudahan engga ya, karena sebelum saya mendedikasikan diri saya untuk skala yang lebih sekunder, saya pastikan dulu skala primer saya, which is anak dan suami, terpenuhi dengan baik. For this, I thank you so much for my family for being around and makes everything possible.
Alasan lain yang juga klise adalah orangtua saya. Saya masih ingat, waktu pertama kali saya diterima di tempat kerja saya sekarang, yang menitikan air mata haru adalah ayah dan ibu saya. They are so proud. Maklum, riwayat keluarga saya PNS. Yah pokonya jadi birokrat buat mereka itu cool banget deh. Padahal at that time saya keterima juga di Conoco Phillips Indonesia. Alhasil begitu pengumuman BI keluar, contract Conoco yang udah tinggal sign langsung di lepas. Kalo dilihat dari sisi carier path maupun salary sih maybe masih bagus Conoco yah, secara multinational oil company gitu. Tapi rasa bangga orangtua saya itu ga sebanding dengan materi. Bok, I'm include the 200 of 30.000 peserta seleksi waktu itu. Merinding deh kalo ingat itu.
Jadi, untuk semua pengorbanan tulus Bapak Mamah, apapun akan saya lakukan. Ini jadi bukan lagi sekedar materi, tapi bagaimana caranya menggantikan rasa bangga dan bahagia orangtua saya?
Mungkin karena ridho orangtua, dan ridho suami juga sampai saat ini saya masih bisa menjalankan dua-duanya. Karir dan keluarga. Alhamdulillah banget. Sungguh saya bersyukur. Meski bukan tanpa kekurangan, rumahtangga maupun kehidupan berkarir saya baik-baik saja.
Meski begitu, jika nanti saya benar-benar dihadapkan dengan situasi deadlock dimana saya harus memilih, karir atau keluarga (misalnya kalo husband masuk deplu dan dapet penempatan luar negeri dan sebagai istri diplomat saya harus ikut), tentu saya pilih keluarga. Setinggi-tingginya cita-cita saya, tetap ujung-ujungnya keluarga.
Sementara ini, karena situasi masih mendukung, saya jalani peran saya sebaik-baiknya. Jadi, sungguh, saya ga perlu lagi di judge atau dinyinyirin macam-macam ya dengan pilihan saya ini. Toh jika memang yang terbaik adalah stay at home, saya juga ga menutup diri kan. Saya percaya semua ada waktunya. Lagian, semakin kita nyinyir sama pilihan orang lain, sesungguhnya semakin kita menampakan betapa rendahnya kelas kita. Kan katanya, when you judge someone, you don't define them, you define your self. Betul banget itu.
Saya juga percaya teori kebalikan. Yaitu ketika kita koar-koar bangga dengan pilihan kita dengan cara menyudutkan orang yang tidak sama dengan kita, itu sebenernya menunjukkan betapa insecure-nya diri kita. Bilang bangga ini itu, bahagia bisa begini begitu, padahal di dalemnya membara dan penuh kegamangan, do you really happy? If you do happy, you don't need people recognizition of your happiness. Penting banget kah pengakuan orang kalo kita bahagia? Happiness is in within, isn't?
Jadi inget film sex and the city (lupa season berapa, pokonya yang episode ke abu dhabi), Carry pernah mengajukan sama suaminya tentang me time. Jadi untuk menghilangkan kebosanan, si carry ini mau tinggal di apartemen lamanya sebulan sekali. Nah ide ini terus di nyinyirin sama temennya yang full house wife. Kok udah nikah masih perlu me time segala. Dia sendiri udah punya dua toddlers dan ngakunya bahagia selalu tanpa me time.Beberapa saat mereka jadi renggang gara-gara beda pendapat. Tapi, at the end of the movie, tau siapa yang ada di apartemen itu untuk me time? yes, itu si ibu yang tadi nganggap ide me time egois. Hahaha, malah dia kemakan omongannya ya.
So, jalani hidup biasa-biasa aja lah. Banyak bersyukur dan stop judging people. Stop being nyiyir juga. I mean it. Hidup itu berputar, kawan. Just be good, karena kita ga tau kapan ada di atas, kapan ada di bawah. Iya ga?
hahaha. Like deeh sm postinganmu yg ini. hihihi. dilema seorang wanita dan/ ibu di negeri tercinta kita. *sigh
BalasHapusThanks yu. It's a never ending war. Enjoy aja lah..
BalasHapusHo-oh. Hari gini masih ada yang kepikiran kayak gitu ? Idih.
BalasHapusIdeal buat seseorang belum tentu buat orang lain. Jika seseorangf memilih sesuatu, itu pasti ia telah mempertimbangkannya. Jadi kalo ada orang ributin elo kerja,
kasian banget ya. Sok tahu banget akan hidup orang. Kenapa dia
tak brenti nyinyirin orang dan menikmati saja pilihan hidup yang diyakininya ?