Jumat, 04 Juni 2010

Cashless People

Hari ketiga bedrest. Mati bosan. Dokter mendiagnosis aku gejala Thypus. Kelelahan dan pola makan yang berantakan menjadi tersangka. Seorang sahabat menyalahkan jarak antara kantor dan rumah yang terlalu jauh. Apalagi saat ini aku masih menyusui Athazka. Mungkin benar juga. Mudah-mudahan kepindahan kami sekeluarga ke Depok pada saatnya nanti cukup menyelesaikan masalah ini. Amin.


Sementara itu, aku akan lebih memperhatikan pola hidupku lagi. Aku janji tidak akan memaksakan diri untuk menjalani serangkaian aktivitas dalam kondisi tubuh yang tidak terlalu fit. Janji deh aku akan lebih banyak istirahat.

Mama mertuaku datang menjenguk setiap hari. Inilah salah satu hikmah dari jarak rumah yang berdekatan. Konon, kala aku ke kantor, mertuaku ini banyak menghabiskan waktu bersama Athazka di rumah. Aku bahkan kerap menitipkan Atha ke rumah mama pada pagi hari sebelum berangkat ke kantor jika melihat gelagat Atha yang bad mood dan kurang kooperatif. Biasanya jitu. Begitu melihat aki, Atha lupa dengan rengekannya. Alhamdulillah, puteraku juga jadi tidak kekurangan kasih sayang. Yah, mumpung aki dan enin belum pindah ke Tasikmalaya dan kami belum pindah ke Depok, situasi seperti ini harus dioptimalkan.

Hari ini mama ke pasar. Seperti biasa, mama menawarkanku untuk membelikan beberapa bahan masakan yang sulit didapat di tukang sayur. Aku pun menyebutkan beberapa item yang kuperlukan, umumnya bahan makanan untuk Atha. Seperti biasa, mama menolak jika aku ikut menitipkan uang. Pasti mama mengatakan .. “gampang cha, nanti aja..”.

Well, meski kerap terbantu dengan sikap mama mertuaku itu tetapi aku paling anti jika menerimanya dengan cuma-cuma. Menitipkan belanjaan padanya saja sudah cukup merepotkan. Malu hati rasanya. Kami kan sudah berumahtangga, sudah punya penghasilan sendiri, masak masih memposisikan diri sebagai anak mama yang bergantung. Mamaku sendiri termasuk kaum the have’s yang tidak pernah memusingkan soal ini. Nah, supaya mama tidak menolak, biasanya, aku akan mengganti uang mama dengan cara memasukannya ke dalam sebuah amplop berisi ucapan terima kasih lalu menitipkannya pada pembantu mama yang suka mampir. Hihihi. Lalu kami akan saling menelepon untuk bertukar pikiran.

Begitulah mama. Karena sifat mama inilah aku juga suka berkejaran dengan waktu saat pembayaran PBB rumah yang kami tinggali jatuh tempo. Jangan sampai mama membayarkannya terlebih dahulu, karena pasti tidak akan mau diganti. Yap, hingga saat ini kami memang masih tinggal di rumah “pinjaman” mama. Untungnya sekarang membayar pajak sudah bisa online melalui ATM. Mama kan jadi tidak bisa menolak juga kalau PBB-nya sudah dibayar. Aku biasanya suka berdalih.. “ma, pajak kan dibayar oleh yang menggunakan, bukan yang memiliki, makanya SPPT PBB bukan bukti kepemilikan hak atas tanah atau bangunan. Rumah mama ini kan yang nempatin icha, maka icha yang harus tanggung jawab pembayarannya, hehe”.

Aku memang sedikit keras kepala perihal kemandirian ini. Yah, hitung-hitung latihan jika nanti mama sudah tidak di Bogor lagi. Hitung-hitung latihan untuk mengetahui pengeluaraan riil rumahtanggaku juga.

Tadi aku sempat menyinggung tentang aku yang kerap tertolong dengan sifat mama. It’s definitely true. Pada beberapa kondisi, aku dan suami jarang menyimpan uang tunai untuk pengeluaran yang tidak terduga (jangan ditiru ya, karena ini tidak terlalu baik juga). Bisa dikatakan kami ini termasuk cashless people. Alih-alih mensukseskan program BI, kami sebetulnya malas saja memegag uang banyak karena kecenderungan untuk membelanjakan uang tunai lebih mudah daripada dalam bentuk ATM ataupun kartu kredit. Nah, masalahnya jadwal belanja mama tidak dapat ditebak dan seringkali terjadi saat aku kehabisan uang tunai. Jadi kasbon deh. Hihihi.

Tetapi ada untungnya juga menjadi cashless pople. Aku dan suami seringkali dimudahkan dengan aneka pembayaran online melalui ATM such as : Listrik, telepon, PBB dan pulsa hp. Kami juga memiliki beberapa kartu kredit. Ketentuan BI mengenai Giro Wajib Minimum (GWM) membuat bank berlomba-lomba memutarkan kelebihan likuiditasnya melalui berbagai program kredit konsumtif, salah satunya kartu kredit. Free annual fee, smart spending 0%, transfer balance 0% hingga power cash dengan bunga ringan merupakan beberapa contohnya. Itu belum termasuk program bonus dan diskon. Tidak heran jika saat ini kepemilikan kartu kredit tidak terkait lagi dengan simbol status kedudukan orang tetapi telah merebak dan menjadi bagian dari lifestyle kaum urban biasa seperti aku.

Selama kita masih bisa menahan diri dan disiplin terhadap pengeluaran, kepemilikan kartu kredit tidak akan lantas mendorong kita menjadi lebih konsumtif. Sungguh. Aku sendiri termasuk orang yang penuh perhitungan dalam penggunaannya, meskipun jika berurusan dengan diskon tetap saja madam overspent ini kembali bertaring (all woman does, bukan?). Kami juga telah merasakan berbagai manfaat dari program bonus dan diskon dari cc yang kami miliki, contohnya:

1. Gratis handphone Nexian

2. Gratis Mini I-pod

3. Gratis handphone Samsung

4. 3 x voucher makan pizza hut @100.000

5. Smart spending di electronic city, Julia dan Felice

6. Haagendaaz Buy 1 get one free, diskon 20% di Caza Suki and other favourite restaurant

7. Gratis 10 ltr minyak goreng Filma

8. Cash back Rp150.000 (dari 3 bulan pembelanjaan)

And keuntungan lainnya yang aku lupa. Dan fyi, from 5 cc that we hold, we never pay for annual fee! Jadi, benar kiranya jika kami ini termasuk cashless people sekaligus Goberian sejati. Hihihi.

Tips kami sebagai cashless people sebetulnya simple saja : selain disiplin dan commited dengan pengeluaran, don’t ever try to pay your credit card bills with no full payment! Aku serius. Perlu disadari bahwa bunga retail kartu kredit sangatlah tinggi , bahkan mencapai 50% setahun. Akan sangat berbahaya jika kita tidak melakukan pembayaran penuh karena bunga tadi akan berbunga kembali bulan depan. So, be wise dan tetaplah qana’ah..

Nonton Indonesian Idol dulu ahh..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar