Senin, 28 Februari 2011
Athazka's best daddy (Part I)
He may not the best daddy in this world. But I know for sure, that he is the best Daddy for Athazka.
I hope our son will look at your good value, pa. He adores you so much, as you love him.
Really happy to have you both in my life :)
Diary of a working moms (Part II)
Selepas shalat Ashar, seorang teman mengirimkan pesan perpisahannya melalui email. Ya, dia memutuskan untuk meninggalkan pekerjaannya untuk menjadi seorang ibu rumah tangga. Kaget? tidak juga, saya tidak pernah merasa ada yang salah dengan pilihan hidup seorang wanita yang memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga. Bahkan, jika dijalani dengan penuh dedikasi, karir tertinggi untuk seorang wanita -menurut saya- adalah di rumah, yaitu ketika seseorang bekerja dengan bayaran yang tidak dapat dinilai dari uang : cinta dari yang tercinta.
Berikut adalah sepenggal kata-kata perpisahannya
Lalu mengapa saya memutuskan untuk meninggalkan pekerjaan yang –a-million-people-would-kill-for?
Terlalu panjang jika dijelaskan detail mengenai keputusan pengunduran diri saya. Singkatnya keputusan besar ini diambil murni karena alasan pribadi. Saat ini keluarga saya lebih membutuhkan kehadiran saya di rumah. Klise tapi benar adanya, setiap orang memiliki kondisi, preferensi, kebutuhan, pertimbangan dan tujuan hidup yang berbeda…sehingga keputusan saya ini bukan lagi masalah apa yang salah atau apa yang benar, namun apa yang saat ini saya pertimbangkan paling sesuai untuk saya dan keluarga.
Betul bahwa semua orang memiliki kondisi, preferensi, kebutuhan, pertimbangan dan tujuan hidup yang berbeda. Saya sendiri saat ini masih memutuskan untuk bekerja karena semua hal-hal tadi masih mendukung saya untuk berkiprah di instansi yang katanya a-million-people-would-kill-for. Jika suatu hari nanti saya dihadapkan dengan sikon yang sama seperti teman saya, mungkin saya pun akan mengambil keputusan yang sama. Dan saya tidak dalam kondisi yang harap-harap cemas sikon semacam itu tidak akan menghampiri saya selama-lamanya. Biasa saja. Saya masih melihat bahwa banyak hal yang masih bisa saya lakukan meskipun saya di rumah. Mungkin menulis jurnal, memperdalam kursus mc, kembali kuliah dan jika memungkinkan mengajar (yang waktunya lebih fleksibel).
As a working moms, saya memahami betul perasaan teman saya. Tidak mudah, bahkan dapat dikatakan tidak mungkin untuk membagi waktu dan konsentrasi dalam dua hal, pada waktu yang sama, dengan kualitas yang sama baiknya. At some point, semua memang terasa seperti pilihan. Saya sendiri hingga saat ini masih memendam cita-cita untuk dapat melanjutkan kuliah di INSEAD (ya, INSEAD! just call me crazy). Tetapi saya sadar bahwa saya sekarang tidaklah sama seperti saya 5 tahun lalu yang amat ambisius dan menggebu-gebu. Saya sekarang adalah seorang istri dan ibu dari seorang putra berusia 2 tahun. Manajemen ego saya sekarang sudah mengalami akslerasi. Dan saya tidak keberatan untuk menunggu waktu yang tepat hingga tiba saatnya saya kembali ke "arena pertempuran". Saya memprioritaskan rumahtangga saya. Kebahagiaan suami dan anak adalah tujuan hidup saya.
Apalagi dengan perkembangan zaman yang semakin abu-abu, praktis pilar pertama dalam pembentukan kepribadian yang kokoh adalah keluarga. Keluarga yang utuh dan bahagia akan menghasilkan generasi yang sehat secara mental. Dan untuk seorang wanita, itulah kesuksesan yang utama.
Meskipun begitu, bukan berarti menjadi working moms begitu nista dan egois. Saya sendiri sudah lelah sekali dengan tema working moms vs housewife. Semua dikembalikan lagi kepada sikon masing-masing. Tidak semua anak yang bermasalah memiliki ibu yang bekerja, dan tidak semua ibu rumah tangga memiliki anak yang tidak bermasalah. Ada kelebihan dan kekurangan. Yang saya ingin tekankan disini adalah, mari kita memberikan yang terbaik bagi keluarga kita, dalam peran apapun, untuk menciptakan generasi yang lebih baik.
Kamis, 24 Februari 2011
are we smart?
Cerdas seringkali diidentikan dengan kemampuan intelenjsia. Akademik. Namun, pemahaman saya -yang awam-, cerdas tidak selalu terkorelasi dengan pencapaian akademik. Orang-orang yang sukses dalam akademis, dalam pengamatan saya, terbagi menjadi tiga tipe, yaitu Pintar, Rajin, dan Cerdas.
Orang yang pintar belum tentu cerdas. Bisa saja seseorang berhasil dari sisi akademik, begitu brilian dan bersinar di bidangnya, namun memiliki masalah dalam kematangan emosi. Biasanya orang yang seperti ini sulit sekali untuk menerima masukan orang lain dan cenderung defensif, karena merasa diri hebat. Pada tahap yang lebih parah, akan muncul sikap merendahkan orang lain. Contoh nyata, lihatlah ke gedung bundar Senayan. Tidak heran jika alm Gus Dur menyebut mereka sebagai sekelompok anak TK
Well, back to cerdas, pagi ini aku memperoleh definisi yang luar biasa mengenai hal itu dari status seorang sahabat di Fb (sepertinya kutipan). Definisi baru ini melengkapi teori yang selama ini aku yakini.
Kecerdasan adalah ketika anda tetap bahagia walaupun kondisi anda dalam keadaan sulit. Anda bahagia bukan sekedar karena meyakini bahwa setelah kesulitan akan ada kemudahan, tetapi ketika meyakini bahwa kesulitan itulah kemudahan yang sejati. Sebab, kesulitan itulah yang membersihkan jiwa.
So, are we smart?
Senin, 21 Februari 2011
hitam dan abu-abu
Hitam, putih dan abu-abu. Warna penegas batasan amalan manusia yang sejak zaman purba hingga saat ini masih dan hanya ada dua : benar atau salah, baik atau buruk. Abu-abu ada ditengah-tengahnya. Tidak jelas dan multitafsir.
Di dalam agama yang aku yakini, terdapat hal-hal yang secara tegas di atur dan digolongkan sebagai perbuatan yang dilarang. Melanggarnya sudah pasti salah. Mau dilihat dari atas, bawah, kanan, kiri, depan atau belakang, tetap mutlak salah. Tidak ada penafsiran lain. Contohnya: Mencuri, berbohong, berzina. Meskipun zaman sudah berubah dimana manusia semakin kehilangan rasa malu sehingga kebohongan, korupsi dan sex bebas sudah menjadi gaya hidup yang biasa, tetap aturan main tadi seharusnya tidak berubah.
Entah bagaimana, menjadi orang yang idealis saat ini justru seringkali dianggap sok suci. Ketika masuk ke sebuah sistem dimana, misalnya, korupsi sudah menjadi bagian dari budaya, maka sesuatu yang seharusnya hitam, lama-lama akan menjadi abu-abu. Sebetulnya nurani itu bergolak, namun jika memperlihatkan penolakan, maka lama kelamaan justru malah akan dijauhi dari pergaulan, atau malah jika mengingatkan, malah akan dianggap sebagai orang yang rese. *sigh*
Alhamdulillah, aku bersyukur karena saat ini aku bekerja di instansi dan posisi (jabatan) yang tidak memungkinkanku untuk melakukan hal-hal yang tidak baik secara moral. Tidak pula berada di dalam lingkungan pergaulan dimana nilai-nilai budaya timur sudah semakin terkikis. Meskipun aku dan teman-temanku berasal dari berbagai daerah, kami memeluk berbagai agama, kami tidak saling mengurusi satu sama lain, kami begitu masing-masing, tetapi value yang kami yakini mostly sama. Bahwa hitam, putih dan abu-abu memiliki definisi sendiri-sendiri. Dan untuk mengakuinya, diperlukan kejujuran dan hati nurani.
Yah, semoga bertahun-tahun kemudian, kami masih menjadi seperti ini. Amin.
Entah bagaimana, menjadi orang yang idealis saat ini justru seringkali dianggap sok suci. Ketika masuk ke sebuah sistem dimana, misalnya, korupsi sudah menjadi bagian dari budaya, maka sesuatu yang seharusnya hitam, lama-lama akan menjadi abu-abu. Sebetulnya nurani itu bergolak, namun jika memperlihatkan penolakan, maka lama kelamaan justru malah akan dijauhi dari pergaulan, atau malah jika mengingatkan, malah akan dianggap sebagai orang yang rese. *sigh*
Alhamdulillah, aku bersyukur karena saat ini aku bekerja di instansi dan posisi (jabatan) yang tidak memungkinkanku untuk melakukan hal-hal yang tidak baik secara moral. Tidak pula berada di dalam lingkungan pergaulan dimana nilai-nilai budaya timur sudah semakin terkikis. Meskipun aku dan teman-temanku berasal dari berbagai daerah, kami memeluk berbagai agama, kami tidak saling mengurusi satu sama lain, kami begitu masing-masing, tetapi value yang kami yakini mostly sama. Bahwa hitam, putih dan abu-abu memiliki definisi sendiri-sendiri. Dan untuk mengakuinya, diperlukan kejujuran dan hati nurani.
Yah, semoga bertahun-tahun kemudian, kami masih menjadi seperti ini. Amin.
Kamis, 17 Februari 2011
Yes I'm slim but happy (and narsis)
Issue yang belakangan menimpaku adalah seputar berat badan. Sejak melahirkan April 2009 lalu, aku memang telah 'sukses' mengembalikan bobotku seperti sedia kala, defisit malah (alias lebih langsing daripada sebelum menikah). Berbagai spekulasi dan pertanyaan bermunculan, dari tuduhan melakoni diet, menggunakan obat pelangsing, sampai terapi di slim center. Awalnya membuatku GR, tapi lama-lama annoying. Apalagi jika gosipnya berkembang terlau jauh seperti ketidakbahagiaan dalam pernikahan, stess pekerjaan, dan lain-lain.
So, I'll tell you guys that:
I don't do diet
I don't take slim pills or herbals
I don't go to Impression, or others similars
But I do breastfeed my son. That's it. Efek samping dari seorang ibu menyusui adalah kurang istirahat (karena sering terbangun untuk menyusui), dan itulah yang terjadi padaku. It a blessing in disguise, I think.
Percikan dalam pernikahan, stress pekerjaan serta sikon perjalanan rumah-kantor memang memberi bumbu tersendiri dalam kehidupanku. Menyeimbangkan warna-warni di duniaku. Tapi jika karena itu lalu aku menjadi kurus, ehmm.. I think I'm not that weak anyway. I have Alloh all along my way. No worry..
Yes, I'm slim but happy :)
and also narsis, hehe..
This is me around my beloved person, hobbies, and interests..
Defile 2010, konyol, kalah, tp tetep Happy
cuaca panas masih tetep narsis, hihi (Hidup Mba Ria!)
Dating with husband, biar tetep romantis terussss..
(cafe alibaba, bogor)
Lunch at O La La Cafe, Sarinah
Kampanye! tetep narsis di tengah keramaian (Mba Santi, you rocks!)
Ela's wedding (akhirnya menemukan rumahnya setelah hampir putus asa dan mampir ke TIKI)
My husband's graduation (sempat dikira adik, ge-er apa tersinggung ya?)
Penang Bistro! Teteup yaaa.. Narsis..
Dating lagi! Pacaran terus dooongg
Foto ini yang bikin orang-orang berpikir aku ke Impression..
Pesta gadis (except me, haha), Semanggi
Rabu, 16 Februari 2011
Smiley Athazka..
My son, Athazka, is a warm and lovely person. He loves to smile, and since he is also photogenic, I often capture his smile through my camera. Here are some of it..
Atha (1 month old)
Atha (2 month old)
Atha ( 3 months) with His Aki
Atha (15 months old)
Atha and his new friend (18 months)
Atha (20 months)
Atha and Kayla (22 months, both)
Lovely, isn't he?
How can I not fall in love with him everyday?
Kamis, 10 Februari 2011
Menyetir Mobil
Satu diantara resolusi tahunanku yang tidak pernah tercapai adalah menyetir mobil sendiri. Ehm, bukan berarti tidak bisa menyetir sih, tapi bagaimana yah, setelah merasakan menjadi penumpang aku dihinggapi rasa malas untuk mengendarai mobil sendiri. Hehehe. SIM-ku sendiri sudah terbit sejak bertahun-tahun yang lalu, tetapi frekuensi penggunaannya bisa dikatakan amat minim.
Kemalasanku ini pertama kali ditangkap oleh Bapakku. Beliau menyimpulkan, diantara semua anak-anaknya, akulah yang paling tidak berbakat menyetir mobil. Sifat dasarku yang gerasah gerusuh dianggap tidak match dengan seni menyetir mobil. That's why jiwa dan ragaku sulit sekali mencintai kegiatan ini.
Menikah dengan seorang maskulin menambah daftar alasanku tidak menyetir mobil. Alih-alih merasa kesal terlalu sering dilarang menyetir, aku malah senang jika kemana-mana disupiri suami, order taksi atau tanpa malu-malu minta diantar oleh adik (adikku malah lebih jago menyetir dibanding aku *sigh*)
Sekarang aku sudah tinggal terpisah dari orangtuaku, termasuk adik dan kakakku. Dengan sifat pekerjaan suami yang terkadang mobile, ditambah kenyataan bahwa aku sekarang telah memiliki Atha, rasa-rasanya kemalasanku menyetir harus mulai dihentikan. Jika tidak ada suami, Atha akan bergantung sepenuhnya padaku. Dan aku tidak bisa mengelak jika nanti dihadapkan pada kondisi dimana aku harus menyetir sendiri.
Baiklah, jadi resolusi tahun ini adalah menyetir mobil sendiri. Semakin aku malas, semakin aku gagap dan grogi. Mobil lama yang tidak aku-friendly (alasan sebetulnya) sudah ditukar dengan model yang sesuai seleraku, lengkap dengan asuransi all-risk selama 3 tahun. Rasanya kali ini sudah tidak bisa lari dari kegiatan menyetir.
Akhir tahun nanti aku akan melaporkan suksesi resolusi tahunan. Mudah-mudahan menyetir mobil termasuk salah satunya ya. Standar keberhasilan menyetirku sendiri akan diukur dari seberapa tegang wajah Atha dan Bibi saat kusupiri. Jika mereka masih gelisah, berarti aku belum sukses. kalau standar jarak, kuanggap jarak rumahku dan mertua alias Depok-Bogor sudah cukup jauh untuk resolusi tahun ini. Hehehe.
Let's drive!
Senin, 07 Februari 2011
Class : Not for Sale
Sale.. Sale.. and Sale all over the stores! As a smart shopper, i recommend you to just check it out here, here, and also every Friday in Kompas Newspaper. Me myself, often ends-up with praying so hard not to buy those -maybe i will need- things, everytime I got trapped in sale.
Siapa tak suka dengan barang branded? Apalagi jika memasuki sale season, barang branded tadi bisa didapatkan dengan harga yang lebih murah. Tentu tergiur, paling tidak itu berlaku untukku. Maklum, ratu diskon. Hehe.
Sometimes, barang-barang branded tadi membuat kita merasa berkelas jika menggunakannya. Aku sendiri kurang setuju dengan pendapat itu, meski pada barang-barang tertentu aku juga brand minded. But pelase notice that i mostly buy those branded things because of its quality. That's it. Aku tidak pernah merasa menjadi spesial karenanya. Bagiku, branded atau tidak, it's just a thing. Preferensi. Selera. Tetapi bukan berarti dengan menyukai barang brand lalu berarti selera tinggi. Menurutku, tidak ada kaitannya sama sekali.
Menengok kisah putri Rania dari Jordania. Betapa rendah hati dan kesederhanaannya beliau menjadikannya contoh figur a high-class people yang sesungguh-sungguhnya. Menurutnya, it's not about clothes, shoes, or any branded things that you wear that make peoples respect you, it's about your heart and treatment. Mengutip kata-katanya :
you can buy clothes, but you can't buy class.
Selama kita belum bisa menghargai orang lain, selama kita masih memandang segala sesuatu dari sisi materi, then we are not classy people, eventhough we wear those branded things from top to toe.
Jadi, tidak semua barang harus di beli di Seibu yah. Mari kita belanja online yang murmer atau ngubek-ngubek grosiran di tanah abang, hehehe.
Jadi, tidak semua barang harus di beli di Seibu yah. Mari kita belanja online yang murmer atau ngubek-ngubek grosiran di tanah abang, hehehe.
Jumat, 04 Februari 2011
Mendadak SH
Oh God, my job is more challenging in each day. Aku yang seorang S.E mendadak harus menjadi S.H. Aku yang biasa berbicara tentang bisnis, sedikit mengenai keuangan, beberapa mengenai pengelolaan SDM dan pemasaran kini harus puas dengan literatur-literatur hukum sebagai makanan sehari-hari. KUHAP, UU Agraria, Perjanjian, Surat Kuasa, dll.
Yes it's a bit frustating, tetapi sometimes, memperoleh ilmu baru bagiku amatlah menyenangkan. Andai saja aku memperlajarinya atas inisiatifku sendiri, bukan karena kondisi yang terdesak. Oh i wish. *sigh*
Tetapi ada untungnya juga mendadak S.H. Paling tidak, untuk transaksi-transaksi penting seperti proses KPR dan KPM, aku menjadi lebih jeli dan lebih kritis. Bahasa suamiku, lebih galak. Oh well, ya ya, aku memang paling sebal jika diperlakukan sebagai konsumen yang inferior.
Oh ya, waktu proses KPR rumahku, aku sempat ngomel kepada bagian legal developerku karena aku diminta untuk menanggung biaya pemecahan sertifikat yang sudah dilakukan mereka years ago. Padahal ketika aku belum memutuskan untuk membeli rumah itu, mereka mengiming-imingiku dengan iklan bahwa sertifikat tanahnya sudah pecah. Wajar dong aku marah, di depan notaris aku disodorkan sejumlah nominal angka yang tidak pernah diperjanjikan sebelumnya dengan alasan, ini biasa bu, yang lain juga begitu. Aaarrrgggh! Sembarangan. Taringku bermunculan dan mulai aku berdebat dengan mas bagian legal itu. Ending percakapan, dia bersedia menanggung biaya itu untuk sementara. Tetapi hingga detik ini mereka tidak pernah menghubungiku lagi. Berulang-ulang aku ke kantor developer untuk menanyakan hal itu, mereka tidak bergeming. Suamiku berkata, kamu sih galak banget. Hahahaha.
Kemalangan developer yang lain, kali ini bagian marketing, menimpa mereka gara-gara lupa dengan perjanjian mereka sendiri. Dengan sopan, mas bagian marketing ini sms seperti ini :
"Bu rika, bagaimana dengan pelunasan down payment bulan ini bu? karena yang sebelum-sebelumnya tidak sesuai dengan yang di perjanjian. Saya mohon kerjasamanya"
Merasa tidak pernah lalai, aku sms balik seperti ini:
"Pak xxx yth, mohon maaf sebelumnya, bagian pelunasan yang manakah yang menurut Bapak tidak sesuai perjanjian? Karena seingat saya, Bapak sendiri kan yang bilang kalau angka-angka itu tidak harus sama persis, yang penting setiap bulan ada pemasukan, dan saya sudah berencana untuk melunasi semuanya pada tanggal yang disepakati. Saya juga minta kerjasama Bapak, kita kan sama-sama penjual dan pembeli yang beritikad baik, pak. Trims"
Oh oke, beberapa saat kemudian masuklah sms-sms mereka untuk memohon maaf atas kelalaiannya dengan bahasa yang lebay. Berkali-kali. I mean it. Lagi-lagi suamiku berkata, kamu galak banget sih. Hahahaha.
Yah, mau tidak mau, ditempatkan dibagian penyelesaian aset sedikit banyak membuatku jadi melek hukum dan berani. Rasanya memang harus seperti itu deh. Di zaman sekarang dimana strategi pemasaran sudah semakin ambisius (yang kadang mengesampingkan aspek keadilan untuk konsumen), jika tidak kritis, maka kita akan menjadi santapan empuk produsen-produsen itu.
Ada gunanya juga ya mendadak SH.
*menghibur hati karena harus mereview 3 set perjanjian dan surat kuasa*
Selasa, 01 Februari 2011
Saatnya meredam ego
Ritualku setiap pagi dalam perjalanan menuju kantor adalah browsing. Berkeliaran di blog-blog milik sahabat serta kerabat, googling issue-issue yang kadang pop-up di kepala begitu saja, otak-atik facebook, chatting via bbm atau ym dan tentu saja mengupdate gosip-gosip di http://detikhot.com/.
Thanks to bb, my best time and pain (karena kadang sikon kereta menyebalkan) killer.
Hasil blogwalking pagi ini mengantarkanku pada artikel ini . Dear all new mom, should read this. It's really good (aku memang menggemari artikel yang bertemakan parenting).
As a human, tentu aku dipenuhi oleh banyak keinginan dan cita-cita. Aku ingin menjadi Ibu yang baik untuk Athazka, aku ingin menjadi istri yang sholehah untuk aa yosi, aku ingin menjadi anak yang berbakti kepada orangtua dan mertua, aku ingin menjadi saudara yang baik, or in short, aku ingin memiliki kesempurnaan dalam kehidupan domestikku. Sisi Passiva.
Tidak cukup sampai disitu, si manusia egois ini masih memiliki setumpuk keinginan-keinginan lainnya. Aku ingin sukses dalam karir, aku ingin mapan secara materi, aku ingin self aktualisasiku terpenuhi. Sisi Aktiva.
Alloh Maha Segalanya. Tidak ada yang tidak mungkin. Tidak ada do'a yang tidak terkabul. Tetapi tentu tidak ada sesuatu di dunia ini yang tidak terjadi tanpa alasan. Bahkan ketika, misalnya, kita memenangkan undian alphard, tentu hal itu pun bukan sesuatu yang terjadi begitu saja. Aku meyakini bahwa selalu ada pesan-Nya dibalik semua hal yang terjadi dalam hidup ini.
Back to the artikel. Pagi ini, rasanya Alloh mengingatkanku mengenai prioritas hidup dan setumpuk keinginan-keinginan kemaruk-ku yang perlu dibenahi.
Di awal tulisan, aku menyebutkan bahwa keinginanku yang pertama kusebutkan adalah menjadi ibu yang baik untuk Athazka. Lalu aku mulai berintrospeksi. Apa sajakah yang telah kulakukan untuknya? untuk orang yang katanya menempati prioritas pertama dalam hidupku.
Tanpa aku sadari, aku terlalu sibuk membagi peranku dan memaksakan porsi idealnya sesuai keinginanku. Aku memang menyusuinya selama 2 tahun, tetapi terkadang saat menyusui aku suka melamun memikirkan banyak hal. Terkadang kala tubuh ini sudah sedemikian letihnya menghabiskan berjam-jam di kantor, aku menyusui sambil tertidur lelap. Rasanya bounding yang aku bentuk dengan Athazka kurang optimal karena aku terlalu sibuk membagi peranku.
Perkembangan Athazka sendiri hingga saat ini dapat dikatakan sangat baik. Secara fisik dan mental, dia tumbuh sesuai usianya. Untuk beberapa tahap bahkan melebihi kapasitas yang seharusnya. As a parents, tentu aku bahagia. Secara teoritis, kebutuhan afeksi Atha telah terpenuhi dengan baik. Tetapi tetap saja rasanya belum puas, karena Atha melewati periode emasnya dengan kondisi ibu yang masih amat egois. Beruntung aku dikelilingi oleh sanak saudara yang secara tidak langsung berkontribusi terhadap kebutuhan afeksi Atha.
Sampai tahap ini, aku mungkin masih bisa bernafas lega, tetapi mengingat di tahap berikutnya tantangan yang akan dihadapi oleh Atha akan semakin kompleks, rasanya satu-persatu keinginanku harus mulai dibenahi untuk dapat fokus mengawal putraku menjadi pribadi yang kokoh sekaligus menyenangkan. Tidak bisa lagi aku memikirkan segala keinginanku beserta tetek bengeknya itu. Apalagi untuk mewujudkan semuanya dalam satu waktu. Menyeimbangkan sisi aktiva dan pasiva sekaligus. Hey, laporan keuangan pun memiliki jeda waktu bagi sisi aktiva dan pasiva untuk seimbang, apalagi ini hidupku.
Lalu aku mulai berpikir tentang multiplier effect yang akan terjadi jika aku berfokus pada perkembangan Atha. He is my bigest invest. Aku harus mengoreksi ulang tentang definisi kesuksesan. Betul aku menginginkan untuk memiliki karir yang cemerlang dan pendapatan yang memungkinkanku berinvestasi dimana-mana, namun takaran kebahagiaan kala mencapai semuanya tentu tetap tidak seimbang jika dibandingkan dengan memiliki anak yang sholeh. Bukankah salah satu amalan yang tidak akan putus di dunia adalah do'a anak sholeh?
Secara kasat mata pun, coba bayangkan, apakah bisa menikmati semua kemewahan dunia dengan hubungan antara ibu dan anak yang berjarak?
Aku tidak ingin mengulangi penyesalan dan sungguh aku ingin belajar untuk menjadi ibu yang lebih baik lagi. Tidak lagi egois.
Athazka adalah amanah. Maka, tanggungjawab terbesarku (dan aa yosi) adalah membesarkannya.
Aku memang membutuhkan sarana lain untuk pengembangan aktualisasi diri. Tetapi itu tidak boleh menghilangkan tanggungjawabku sebagai ibu. Aku harus dapat mencurahkan seluruh energi dan stamina yang prima saat bersama Atha, seperti halnya saat aku bekerja di kantor. Aku harusfokus pada tahap-tahap perkembangannya seperti halnya saat aku berfokus pada costumerku. Mungkin lebih.
Jadi, bagaimana jika aku mengerucutkan semua keinginan dan prioritasku menjadi:
Athazka, Aa then Career?
Oya, aku juga menata ulang definisi kesuksesan menjadi: Health and Happiness.
Semoga Alloh selalu membimbingku. Amin.
Athazka, Aa then Career?
Oya, aku juga menata ulang definisi kesuksesan menjadi: Health and Happiness.
Semoga Alloh selalu membimbingku. Amin.
Langganan:
Postingan (Atom)