Selepas shalat Ashar, seorang teman mengirimkan pesan perpisahannya melalui email. Ya, dia memutuskan untuk meninggalkan pekerjaannya untuk menjadi seorang ibu rumah tangga. Kaget? tidak juga, saya tidak pernah merasa ada yang salah dengan pilihan hidup seorang wanita yang memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga. Bahkan, jika dijalani dengan penuh dedikasi, karir tertinggi untuk seorang wanita -menurut saya- adalah di rumah, yaitu ketika seseorang bekerja dengan bayaran yang tidak dapat dinilai dari uang : cinta dari yang tercinta.
Berikut adalah sepenggal kata-kata perpisahannya
Lalu mengapa saya memutuskan untuk meninggalkan pekerjaan yang –a-million-people-would-kill-for?
Terlalu panjang jika dijelaskan detail mengenai keputusan pengunduran diri saya. Singkatnya keputusan besar ini diambil murni karena alasan pribadi. Saat ini keluarga saya lebih membutuhkan kehadiran saya di rumah. Klise tapi benar adanya, setiap orang memiliki kondisi, preferensi, kebutuhan, pertimbangan dan tujuan hidup yang berbeda…sehingga keputusan saya ini bukan lagi masalah apa yang salah atau apa yang benar, namun apa yang saat ini saya pertimbangkan paling sesuai untuk saya dan keluarga.
Betul bahwa semua orang memiliki kondisi, preferensi, kebutuhan, pertimbangan dan tujuan hidup yang berbeda. Saya sendiri saat ini masih memutuskan untuk bekerja karena semua hal-hal tadi masih mendukung saya untuk berkiprah di instansi yang katanya a-million-people-would-kill-for. Jika suatu hari nanti saya dihadapkan dengan sikon yang sama seperti teman saya, mungkin saya pun akan mengambil keputusan yang sama. Dan saya tidak dalam kondisi yang harap-harap cemas sikon semacam itu tidak akan menghampiri saya selama-lamanya. Biasa saja. Saya masih melihat bahwa banyak hal yang masih bisa saya lakukan meskipun saya di rumah. Mungkin menulis jurnal, memperdalam kursus mc, kembali kuliah dan jika memungkinkan mengajar (yang waktunya lebih fleksibel).
As a working moms, saya memahami betul perasaan teman saya. Tidak mudah, bahkan dapat dikatakan tidak mungkin untuk membagi waktu dan konsentrasi dalam dua hal, pada waktu yang sama, dengan kualitas yang sama baiknya. At some point, semua memang terasa seperti pilihan. Saya sendiri hingga saat ini masih memendam cita-cita untuk dapat melanjutkan kuliah di INSEAD (ya, INSEAD! just call me crazy). Tetapi saya sadar bahwa saya sekarang tidaklah sama seperti saya 5 tahun lalu yang amat ambisius dan menggebu-gebu. Saya sekarang adalah seorang istri dan ibu dari seorang putra berusia 2 tahun. Manajemen ego saya sekarang sudah mengalami akslerasi. Dan saya tidak keberatan untuk menunggu waktu yang tepat hingga tiba saatnya saya kembali ke "arena pertempuran". Saya memprioritaskan rumahtangga saya. Kebahagiaan suami dan anak adalah tujuan hidup saya.
Apalagi dengan perkembangan zaman yang semakin abu-abu, praktis pilar pertama dalam pembentukan kepribadian yang kokoh adalah keluarga. Keluarga yang utuh dan bahagia akan menghasilkan generasi yang sehat secara mental. Dan untuk seorang wanita, itulah kesuksesan yang utama.
Meskipun begitu, bukan berarti menjadi working moms begitu nista dan egois. Saya sendiri sudah lelah sekali dengan tema working moms vs housewife. Semua dikembalikan lagi kepada sikon masing-masing. Tidak semua anak yang bermasalah memiliki ibu yang bekerja, dan tidak semua ibu rumah tangga memiliki anak yang tidak bermasalah. Ada kelebihan dan kekurangan. Yang saya ingin tekankan disini adalah, mari kita memberikan yang terbaik bagi keluarga kita, dalam peran apapun, untuk menciptakan generasi yang lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar